BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Belakangan ini banyak
bermunculan karya-karya filsafat dari tokoh-tokoh islam. Bagi beberapa pihak
hal ini mengejutkan mengingat adanya anggapan banyak orang tentang keengganan
islam berfilsafat sejak Al Ghazali mengembangkan kritiknya terhadap filsafat
dan para filosof muslim terutama Ibnu Sina dan Ibnu Rusyd.
Namun anggapan seperti
itu bertolak belakang mengingat banyak sekali bermunculan ahli filsafat muslim
setelah Ibnu Rusyd. Kemudian untuk mengungkap ketidak cocokan Al Ghazali
mengenai filsafat perlu pembahasan yang mendetail. Disini akan dipaparkan salah
satu filsafat muslim yang mungkin bertentangan dengan Al Ghazali yaitu Ikhwan
Al-Shafa.
B.
Rumusan Masalah
1.
Bagaimana latar belakang dan keanggotaan Ikhwan Al-Shafa
?
2.
Sebutkan karya-karya Ikhwan Al-Shafa ?
3.
Sebutkan filsafatnya Ikhwan Al-Shafa ?
C. Tujuan
Mempelajari Filsafat Ikhwan Al-Shafa
Mempelajari
filsafat Ikhwan Al-Shafa mempunyai beberapa tujuan diantaranya :
1.
Untuk mengetahui latar belakang dan keanggotaan Ikhwan
Al-Shafa.
2.
Bisa menyebutkan karya-karya Ikhwan Al-Shafa.
3.
Untuk memperdalam filsafatnya Ikhwan Al- Shafa.
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Sejarah Lahir dan Keanggotaan
Ikhwan al-Shafa’ (Persaudaraan Suci) adalah nama kelompok
pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah Ismailiyah yang
lahir pada abad ke 4 H (10 M) di Basrah. Kelompok ini juga menamakan dirinya
Khulan al-Wafa’, Ahl al-Adl, dan Abna’ al-Hamd. Salah satu ajaran Ikwan
al-Shafa adalah paham taqiyah (menyembunyikan keyakinan), paham taqiyah ini
disebabkan basis kegiatannya berada ditengah-tengah masyarakat sunni yang nota
bene adalah lawan ideologi dari Ikhwan al-Shafa’ (Syi’ah), kerahasiaan kelompok
ini juga disebabkan oleh dukungan mereka terhadap faham mu’tazilah yang telah
dihapuskan dari madzhab Negara oleh khalifah Abbasiyah al-Mutawakkil (sekte
sunni). maka kaum rasionalis dicopot dari jabatan pemerintahan kemudian diusir
dari Baghdad.
Berikutnya penguasa melarang mengajarkan kesusateraan, ilmu,
dan filsafat. Kondisi yang tidak kondusif ini berlanjut pada khalifah-khalifah
sesudahnya. Berdasarkan permasalahan itulah kelompok ini selain bergerak di
bidang keilmuan juga bertendensi politik.
Pada masa khilafah Abbasiyah dikuasai Dinasti Salajikah yang
berpaham sunni, gerakan kelompok ini dinilai mengganggu stabilitas keamanan dan
ajaran-ajarannya dipandang sesat. Maka pada tahun 1150 Khalifah Al-Muntazid
menginstruksikan agar seluruh karya filsafat Ikhwán dibakar. Hal ini disebabkan
karena perbedaan ideologi antara penguasa Dinasti Salajikah yang Sunni dengan
kelompok Ikhwan al-Shafa yang Syiah.
Ikhwan al-Shafa’ merupakan gerakan yang mempertahankan
semangat berfilsafat khususnya dan pemikiran rasional umumnya. Tokoh terkemuka
kelompok ini adalah Ahmad ibnu Abd Allah, Abu Sulaiman Muhammad Ibnu Nashr
al-Busti yang terkenal dengan sebutan al-Muqaddasi, Zaid ibn Rifa’ah selaku
ketua dan Abu al-Hasan Ali ibnu Harun al-Zanjany.
Lahirnya Ikhwan al-shafa’ adalah ingin menyelamatkan
masyarakat dan mendekatkannya pada jalan kebahagiaan yang diridhai Allah.
Menurut mereka, syariat telah dinodai bermacam-macam kejahiliyahan dan dilumuri
keanekaragaman kesesatan. Satu-satunya jalan untuk membersihkannya adalah
filsafat.
Dalam
kelompok ini ada empat tingkatan anggota sebagai berikut:
·
Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, kelompok yang berusia 15-30 tahun yang memiliki
jiwa yang suci dan pikiran yang kuat. Mereka berstatus murid, karenanya
dituntut tunduk dan patuh secara sempurna kepada guru.
·
Al-Ikhwan al-Akhyar , yakni kelompok yang berusia 30-40 tahun. Pada tingkat ini
mereka sudah mampu memelihara persaudaraan, pemurah, kasih sayang, dan siap
berkorban demi persaudaraan (tingkat guru-guru).
·
Al-Ikhwan al-Fudhala al-Kiram, yakni kelompok yang berusia 40-50 tahun. Dalam
kenegaraan kedudukan mereka sama dengan sultan atau hakim. Mereka sudah
mengetahui aturan ketuhanan sebagai tingkatan para nabi.
·
Al-Kamal, yakni kelompok yang berusia 50 tahun ke atas. Mereka disebut dengan
tingkat al-Muqarrabin min Allah karena mereka sudah mampu memahami hakikat sesuatu
sehingga mereka sudah berada diatas alam realitas, syariat dan wahyu
sebagaimana malaikat al-muqarrabun.
B.
Karya-Karyanya
Pertemuan-pertemuan yang dilakukan
sekali dalam 12 hari di rumah Zaid ibn Rifa’ah (ketua) secara sembunyi-sembunyi
tanpa menimbulkan kecurigaan telah menghasilkan 52 risalah. Ditilik dari segi
isi, rasail tersebut dapat diklasifikasikan kepada empat bidang yaitu:
·
14 risalah tentang matematika, yang mencakup
geometri, astronomi, musik, geografi, seni, modal dan logika
·
17 risalah tentang fisika dan ilmu alam, yang
mencakup genealogi, mineralogi, botani, hidup dan matinya alam, senang sakitnya
alam, keterbatasan manusia, dan kemampuan kesadaran.
·
10 risalah tentang ilmu jiwa, mencakup
metafisika Phytagoreanisme dan kebangkitan alam
·
11 risalah tentang ilmu-ilmu ketuhanan, meliputi
kepercayaan dan keyakinan, hubungan alam dengan Allah, akidah mereka, kenabian
dan keadaannya, tindakan rohani, bentuk konstitusi politik, kekuasaan Allah,
magic dan azimat.
C.
Filsafatnya
a. Tawfiq
dan At-Talfiq
Pemikiran at-Tawfiq Ikhwan al-Shafa terlihat pda tujuan
pokokbidang keagamaan yang hendak mereka capai yakni merekonsiliasikan atau
menyelaraskan antara agama dan filsafat dan juga antar agama-agama yang ada.
Kemudian menurut mereka apabila dipertemukan dan disusun antara filsafat yunani
dan syari’ah arab, maka ia akan menghasilkan formulasi yang lebih sempurna.
Disamping itu ikhwan al-Shafa juga memadukan agama-agama
yang berkembang pada waktu itu dengan berasaskan filsafat, seperti Islam,
Kristen, Majusi, Yahudi dll. Karena menurut mereka tujuan agama adalah sama,
yaitu untuk mendekatkandiri kepada tuhan.
Usaha at-Taufiq di atas akan menghasilkan kesatuan filsafat
dan kesatuan madzhab. Implikasinya akan melahirkan apa yang disebut dengan
at-Talfiq (elektik), yang memadukan semua pemikiran yang berkembang pada waktu
itu, seperti pemikiran Persia, Yunani dan semua agama. Sementara itu sumber
ajaran mereka ialah Nuh, Ibrahim, Socrates, Plato, Zoroaster, Isa, Muhammad,
dan Ali, adalah keinginan yang ideal yang tidak pernah ada dalam realitas.
Karena bagaimana mungkin menyatukan sifat manusia yang hitrogen secara utuh dan
penuh kesadaran, kalaupun hal ini mungkin diwujudkan, tentu menghendaki
pemaksaan, dan tidak akan bertahan lama.
Ikhwan
al-Shafa berusaha memadukan agama-agama yang ada dengan filsafat. Mereka
menyatakan bahwa apabila dipertemukan antara filsafat Yunani dan syari’at Arab,
maka akan menghasilkan formulasi-formulasi yang lebih sempurna. Ikhwan al-Shafa
menempatkan filsafat menjadi landasan agama yang dipadukan dengan ilmu. Usaha rekonsiliasi antar agama
dengan filsafat sebenarnya telah dilakukan Al-Farabi dan Ibnu Sina. Akan
tetapi, kedua filosof ini hanya mengupas keselarasan kebenaran filsafat dan
agama. Sementara itu Ikhwan al-Shafa melepaskan sekat-sekat perbedaan agama.
Karena itu rekonsiliasi yang mereka maksud tidak hanya antara filsafat dengan
agama Islam, namun juga antara filsafat dengan seluruh agama, ajaran, dan
keyakinan, seperti Kristen, Majuzi, Yahudi dan lain-lainnya. Menurut mereka, tujuan semua agama tersebut sama-sama
untuk mendekatkan diri kepada tuhan. Yang mereka maksud adalah Islam sebagai
ajaran utama dan ajaran-ajaran lain hanya sekedar pelengakap untuk memudahkan
pemahaman Islam itu sendiri. ini akan mereka jadikan sebagai pegangan dalam
negara baru yang mereka impikan.
b.
Metafisika
Dalam masalah ketuhanan, Ikhwan al-Shafa melandasi
pemikirannya pada angka-angka atau bilangan. Menurut mereka, pengetahuan
tentang angka membawa pada pengakuan tentang keesaan Allah karena apabila angka
satu rusak, maka rusaklah semua angka.
Selanjutnya mereka katakan, angka satu sebelum angka dua dan
dalam angka dua terkandung pengertian kesatuan. Dengan istilah lain, angka satu
adalah angka yang pertama dan angka itu terlebih dahulu dari angka dua lainnya.
Oleh karena itu, keutamaan terletak pada yang dahulu, yakni angka satu.
Sementara angka dua dan lainnya terjadinya kemudian. Oleh karena itu,
terbuktilah bahwa Yang Maha Esa (Allah) lebih dahulu dari yang lainnya seperti
dahulunya angka satu dari angka lain.
Hal ini terlihat jelas pengaruh Neo-Pythagoreanisme yang
dipadukan dengan filsafat keesan Plotinus pada Ikhwan al-Shafa. Kesan tauhid
dalam filsafat mereka itulah yang menarik Ikhwan al-Shafa mengambilnya sebagai
argumen tentang keesan Allah.
Tentang ilmu Allah mereka katakan bahwa seluruh pengetahuan
berada dalam ilmu Allah sebagaimana beradanya seluruh bilangan dalam bilangan
satu. Berbeda dengan ilmu para pemikir, ilmu Allah dari zat-Nya sebagaimana
bilangan yang satu, meliputi seluruh bilangan. Demikian pula ilmu Allah
terhadap segala yang ada.
c.
Emanasi (al-Faidh)
Berkaitan dengan penciptaan alam,
pemikiran ikhwan al-Shafa merupakn perpaduan antara pendapat Aristoteles,
Plotinus dan Mutakallimin. Bagi Ikhwan al-Shafa, tuhan adalah pencipta dan mutlak
esa. Lengkapnya rangkaian proses emanasi itu adalah :
1. Akal Pertama atau Akal Aktif
2. Jiwa Universal
3. Materi Pertama
4. Potensi Jiwa Universal
5. Materi Absolut atau Materi Kedua
6. Alam Planet-planet
7. Anasir-anasir alam terendah, yaitu air, udara, tanah dan
api
8. Materi gabungan, yang terdiri dari mineral,
tumbuh-tumbuhan dan hewan.
Kedelapan mahiyah di atas bersama
dengan zat Allah yang mutlak, sempurnalah jumlah bilangan menjadi sembilan.
Angka sembilan ini membentuk substansiorganik pada tubuh manusia, yaitu tulang,
sum-sum, daging, urat, darah, saraf, kulit, rambut dan kuku.
d.
Matematika
Dalam pembahasan matematika Ikhwan al-Shafa dipengaruhi oleh
pitagoras yang mengutamakan pembahasan tentang angka atau bilangan. Bagi mereka
angka-angka itu mempunyai arti spekulatif yang dapat dijadikan dalil wujud
sesuatu oleh sebab itu ilmu hitung merupakan ilmu yang paling mulia
dibandingkan ilmu empirik karena tergolongilmu ketuhanan.
Angka satu merupakan dasar segala wujud ini da merupakan
permulaan yang absolute. Huruf hijaiyah yang jumlahnya ada 28 adalah hasil
perkalian dari 4 x 7. Angka 7 mengandung nilai kesucian sedangka angka 4
mempunyai arti empat penjuru angin.
e.
Jiwa
Dalam tubuh manusia jiwa memiliki tiga
fakultas :
a.
Jiwa tumbuhan yaitu dimiliki oleh semua makhluk hidup.
Jiwa ini terbagi dalam tiga daya yaitu makan, tumbuh, dan reproduksi.
b.
Jiwa hewan yaitu dimiliki oleh hewan dan manusia. Jiwa
ini memiliki dua daya yaitu penggerak dan sensasi.
c.
Jiwa manusia yaitu jiwa yang menyebabkan manusia
berpikir dan berbicara.
f.
Moral
Adapun tentang moral, ikhwn al-shafa
bersifat rasionalistis. Untuk itu suatu tindakan harus berlangsung bebas
mereka. Dalam mencapai moral dimaksud, seseorang harus melepaskan diri dari
ketergantungan kepada materi. Harus memupuki rasa cinta untuk bisa sampai
kepada ekstase. Percaya tampa usaha, mengetahui tampa berbuat atau sia-sia.
Kesabarabna dan ketabahan, kelembutan dan kehalusan kasih sayang, keadilan rasa
syukur, mengutamakan kebijakan, gemar berkornban untuk orang lain kesemuanya
harus menjadi krasteristik pribadi. Sebaliknya, bahasa kasar, kemunafiakan,
penipuan, kezaliman, dan kepalsuan harus dikritis habis sehingga timbul
kesucian perasaan, kecintaan yang membara sesame manusia, dan kemarahan
terhhadap alam, binatang liar sekalipun.
B. Ibnu Sina
1.
Biografi
Nama lengkapnya Abu Ali al-Husein ibn
Abdillah ibn Hasan ibn Sina. Dikenal sebagai seorang filosof Islam terbesar
bergelar Syaikh ar-Ra’is. Lahir dalam keluarga bermazhab Syi’ah tahun 370 H/
980 M, di desa Efyanah (Kawasan Bukhara). Di Bukhara, ia dibesarkan dan belajar
falsafah, kedokteran, dan ilmu-ilmu agama Islam. Di usia 10 tahun, Ia
mempelajari Islam dan menghafal al-Qur’an. Ibnu Sina juga mempelajari
astronomi, matematika, fisika, metafisika, logika, dan kedokteran. Usia 16
tahun, ia dikenal sebagai dokter ahli berbagai penyakit. Usia 18 tahun, ia
menguasai berbagai cabang ilmu pengetahuan, seperti falsafah, matematika,
logika, astronomi, musik, mistik, bahasa dan hukum Islam. Ia mampu meyembuhkan
penyakit yang diderita penguasa Bhukara, Nuh ibn Mansur (387 H/997 M), dan
diberi imbalan untuk memanfaatkan perpustakaannya. Usia 20 tahun, ayahnya
meninggal, ia pindah ke Jurjan dan bertemu Abu ‘Ubaid al-Juzajani kemudian
menjadi muridnya dan menulis sejarah hidupnya, pernah menjadi menteri di
Hamazan. Ia meninggal dunia pada hari Jum’at bulan Ramadhan dalam usia 58
tahun, dan dimakamkan di Hamazan .
2.
Karyanya
Karangan
Ibnu Sina yang terkenal ialah :
a. Asy-Syifa. terdiri dari 4 bab, logika, fisika, matematika, dan metafisika.
b. An-Najat. ringkasan as-Syifa, pernah diterbitkan bersama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
c. Al-Isyarat wat-Tanbihat. Pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892.
d. Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskahnya yang masih memuat logika.
e. Al-Qanun fi al Tibb (buku kedokteran ditulis 14 jilid, ditulis saat usia 16 tahun), atau Canon of Medicine, pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad 17 Masehi .
a. Asy-Syifa. terdiri dari 4 bab, logika, fisika, matematika, dan metafisika.
b. An-Najat. ringkasan as-Syifa, pernah diterbitkan bersama dengan buku al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 M di Mesir.
c. Al-Isyarat wat-Tanbihat. Pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892.
d. Al-Hikmat al-Masyriqiyyah. banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskahnya yang masih memuat logika.
e. Al-Qanun fi al Tibb (buku kedokteran ditulis 14 jilid, ditulis saat usia 16 tahun), atau Canon of Medicine, pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standar untuk universitas-universitas Eropa sampai akhir abad 17 Masehi .
3.
Filsafatnya
Merupakan
gabungan tradisi Aristotelian, pengaruh Neoplatonism dan teologi Islam.
a.
Al-Tawfiq/ Rekonsiliasi antara Agama dan
Filsafat
Ibnu Sina memadukan agama dan filsafat. Menurutnya Nabi dan Filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya terletak pada cara memperolehnya, bagi Nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci), sedangkan Filosof melalui akal mustafad. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh Filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina membedakan antara para Nabi dan para Filosof, Nabi ialah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk jadi Nabi. Sementara Filosof adalah manusia yang mempunyai intelektual tinggi dan tidak bisa jadi Nabi.
Ibnu Sina memadukan agama dan filsafat. Menurutnya Nabi dan Filosof menerima kebenaran dari sumber yang sama, yakni Malaikat Jibril yang juga disebut Akal kesepuluh atau Akal Aktif. Perbedaannya terletak pada cara memperolehnya, bagi Nabi terjadinya hubungan dengan Malaikat Jibril melalui akal materiil yang disebut hads (kekuatan suci), sedangkan Filosof melalui akal mustafad. Pengetahuan yang diperoleh Nabi disebut wahyu, berlainan dengan pengetahuan yang diperoleh Filosof hanya dalam bentuk ilham, tetapi antara keduanya tidaklah bertentangan.
Ibnu Sina membedakan antara para Nabi dan para Filosof, Nabi ialah manusia pilihan Allah dan tidak ada peluang bagi manusia lain untuk jadi Nabi. Sementara Filosof adalah manusia yang mempunyai intelektual tinggi dan tidak bisa jadi Nabi.
b.
Wujud
Dalam filsafat wujudnya, segala yang ada ia bagi pada 3 tingkatan:
1) Wajib Al-Wujud, essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama. Essensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib berwujud selamanya.
2) Mumkin Al-Wujud, essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak. Artinya, jika ia diandaikan tidak ada atau ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak.
3) Mumtani’ Al-Wujud, essensi yang tidak dapat mempunyai wujud.
Dalam filsafat wujudnya, segala yang ada ia bagi pada 3 tingkatan:
1) Wajib Al-Wujud, essensi tidak bisa dipisahkan dari wujud, keduanya adalah sama. Essensi ini tidak dimulai dari tidak ada, kemudian berwujud, tetapi ia wajib berwujud selamanya.
2) Mumkin Al-Wujud, essensi yang boleh mempunyai wujud dan boleh tidak. Artinya, jika ia diandaikan tidak ada atau ada, maka ia tidaklah mustahil, yakni boleh ada dan boleh tidak.
3) Mumtani’ Al-Wujud, essensi yang tidak dapat mempunyai wujud.
c.
Emanansi
atau pancaran
Ketika Allah wujud sebagai Akal langsung memikirkan terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarkan Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini memancar Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan Langit Pertama, seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang lemah dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan menghasilkan Jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah.
Akal pertama bersifat wajib wujudnya punya 3 objek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Emanasi Ibnu Sina menghasilkan 10 akal dan 9 planet. 9 akal mengurusi 9 planet dan akal ke-10 mengurusi bumi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.
Ketika Allah wujud sebagai Akal langsung memikirkan terhadap zat-Nya yang menjadi objek pemikiran-Nya, maka memancarkan Akal Pertama. Dari Akal Pertama ini memancar Akal Kedua, Jiwa Pertama, dan Langit Pertama, seterusnya sampai Akal Kesepuluh yang lemah dan tidak dapat menghasilkan akal sejenisnya, dan menghasilkan Jiwa kesepuluh, bumi, roh, materi pertama yang menjadi dasar bagi keempat unsur pokok : air, udara, api, dan tanah.
Akal pertama bersifat wajib wujudnya punya 3 objek pemikiran : Tuhan, dirinya sebagai wajib wujudnya dan dirinya sebagai mungkin wujudnya.
Emanasi Ibnu Sina menghasilkan 10 akal dan 9 planet. 9 akal mengurusi 9 planet dan akal ke-10 mengurusi bumi. Akal-akal adalah para malaikat, akal pertama adalah Malaikat Tertinggi dan Akal Kesepuluh adalah Jibril yang bertugas mengatur bumi dan isinya.
d.
Jiwa
Jiwa manusia, sebagai jiwa lain dan segala yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian: Tumbuhan, Binatang dan Manusia. Manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka selamanya berada dalam kesenangan, dan jika berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, maka akan hidup dalam penyesalan dan terkutuk selamanya di akhirat.
Jiwa manusia, sebagai jiwa lain dan segala yang terdapat di bawah bulan, memancar dari Akal kesepuluh. Ibnu Sina membagi jiwa dalam tiga bagian: Tumbuhan, Binatang dan Manusia. Manusia merupakan satu unit yang tersendiri dan mempunyai wujud terlepas dari badan. Jika jiwa manusia telah mencapai kesempurnaan sebelum berpisah dengan badan, maka selamanya berada dalam kesenangan, dan jika berpisah dengan badan dalam keadaan tidak sempurna, maka akan hidup dalam penyesalan dan terkutuk selamanya di akhirat.
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
i.
Ikhwan al-Shafa’ (Persaudaraan Suci) adalah nama
kelompok pemikir Islam yang bergerak secara rahasia dari sekte Syi’ah
Ismailiyah yang lahir pada abad ke 4 H (10 M) di Basrah.
ii.
Ada empat tingkatan anggota Ikhwan al-Shofa yaitu :
Al-Ikhwan al-Abrar al-Ruhama, Al-Ikhwan al-Akhyar, Al-Ikhwan al-Fudhala
al-Kiram, Al-Kamal.
iii.
Karya-karya Ikhwan al-Shafa berjumlah 52 risalah yang
diklasifikasikan dalam empat bidang yaitu : 14 risalah tentang matematika, 17
risalah tentang fisika dan ilmu alam, 10 risalah tentang ilmu jiwa, 11 risalah
tentang ilmu-ilmu ketuhanan.
iv.
Filsafat Ikhwan al-Shafa mencakup : Tawfiq dan
At-Talfiq, Metafisika, Emanasi (al-Faidh), Matematika, Jiwa dan moral.
B.
Kritik dan Saran
Alhamdulillah tiada harapan dan upaya sedikitpun dari kami
klecuali makalah ini dapat bermanfa’at bagi segenap pembaca, dan dapat menambah
sedikit banyak mengenai studi Islam.
Di balik itu semua maka dengan segala kemampuan yang penulis
miliki tentunya masih banyak kekurangan dan kesalahan dalam makalah ini.
Sudilah kiranya memberi teguran dan pembenaran kontruktif bagi kami, terutama
dari teman-teman mahasiswa dan bapak dosen pengampu hususnya, dan sebelumnya
kami ucapkan banyak terima kasih.
DAFTAR PUSTAKA
Nasution, Hasyimsyah. 1999.
Filsafat Islam. Jakarta: Gaya Media Pratama
Sirojuddin. 2009. Filsafat Islam.
Jakarta: Rajawali Press
Fakhry
Majid. Sejarah Filsafat Islam. Mizan, Bandung: 2001
Naiati
M Ustman.. Jiwa dalam Pandangan Para Filosof Muslim. Pustaka Hidayah Bandung:
2002
Tidak ada komentar:
Posting Komentar