BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang
ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap
sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran
bila dalam studi sejarah pemikiran, lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal
dari Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan
kebudayaan seperti seperti al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi, dan
Ibn Sina dianggap brilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya
dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles.
Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti
juga Al Gazali , merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti
katanya: ”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil
khobari.” (terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah
dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).
B.
Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang perlu
dibahas dalam makalah ini, sebagaimana berikut :
1.
Bagaimana
sejarah hidup Ibnu Thufail ?
2.
Apa
saja karya-karya Ibnu Thufail ?
3.
Bagaimana latar belakang pemikiran
filsafat Ibnu Bajjah sebagai seorang filsuf dan sufi sekaligus?
4.
Bagaimana pokok-pokok pemikiran filsafat
Ibnu Bajjah terutama konsepnya tentang Tadbir Al-Mutawahhid?
C.
Tujuan
Pembahasan
1. Untuk mengetahui sejarah perjalan
hidup Ibnu Thufail
2. Untuk mengetahui apa saja
karya-karya Ibnu Thufail dan Ibnu Banjjah
3.
Untuk mengetahui pemikiran dan
filsafat yang dianut oleh Ibnu Bajjah
BAB II
PEMBAHASAN
1.
IBNU THUFAIL
A. Sejarah Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik
ibn Muhammad ibnu Thufail أبو بكر بن عبد الملك بن
محمد بن طفيل القيسي الأندلسي.
Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun
506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[1]
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai
pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri
mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi
kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka
pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai
“tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2]
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter
pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur.
Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail.
Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal
pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana,
Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[3]
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail
dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn
Tofail berjudul "حي بن يقظان" Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak
kesadaran”), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah
menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling
berharga yang pernah ada di bidang filsafat.
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh
filsafat Plato. Pemikhran-pemikiran filosofis Ibn Tofail ketika menulis buku
ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya
dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara
akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.[4]
B. Karya-Karya Ibnu Tufail
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd sering
berbincang, berdebat dan saling evaluasi seputar masalah-masalah kedokteran dan
filsafat. Evaluasi dan perdebatan mereka yang khusus membicarakan tentang
kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail dalam karyanya "مراجعات ومباحث"
(Muraja'at wa Mabahits; Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan
tulisan ini oleh Ibnu Rusyd dimasukkan menjadi bagian dari salah satu
karangannya: "الكليات" (al-Kulliyyat). Karya kedokteran lain dari Ibnu Tufail
yang masih bisa dinikmati adalah "الأرجوزة في
الطب" (Arjuzah fi
at-Thib) sepanjang 7700 bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami'
al-Qarawiyyin Fes -
Maroko dalam bentuk manuskrip.[5]
Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga
merupakan master bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu
perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon Goteh (?)-seorang orientalis
Perancis: "Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang
astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat
raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu Tufail telah memiliki teori baru".
Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail memiliki
teori-teori sensasional sekitar system jagat raya dan dasar-dasar
perputarannya.[6]
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan
dua karya yang masih ada: risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al hikmah Al
mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari
asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah
Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al
hikamat Al mashariqiyah.
Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal adalah sebuah buku
filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”) karya ini
memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan
timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran
Ibnu Tufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok pikiran ini bisa
diidentifikasi sebagai tasawwuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof
muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut para filosof anti
tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini
bersifat ektra rasional dan tak terperikan.
C.
Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
1. Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal,
atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat
Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah
itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu
doktrin saingannya, dan tidak berusaha mendamaikan
mereka. Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para
pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan
konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan
tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak lepas dari
kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka
dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta
itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo
tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.[7]
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan
mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan
bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan
suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di
kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau
begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya?
Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak,
sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya.
Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas
sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena
itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun
penciptaan sementara dunia ini.[8]
2. Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu
mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan
sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang
merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain
anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada
akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai
penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka
kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab
imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.[9]
Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang
pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan
Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan
kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal
esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau pegang sebuah
benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu tak gerak lagi,
akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada
gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak
benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya
tak saling mendahului.
Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal,
Ibnu Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah suatu
yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya
yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana
dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai
pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang
tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada
kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi
bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti
terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai
dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan
penerangan dan pengejawantahan kekal.[10]
Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail
menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian
dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan
memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.[11]
3. Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi
apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu
dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap
berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada
prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin.
Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan
seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari
dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu
yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu
hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi
timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan.
Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam
kosmos.[12]
4. Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan
tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk
menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa
prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi
awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran
tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi
dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam
memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan
hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk
mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu
pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi
epistimologi Ibnu Tufail.[13]
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan
lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan yang ada di
dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak
menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak
lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda
yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan pembedaannya,
dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini
memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk
atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu
berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah dapat dipertahankan atas
dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati
secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu
tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh
itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan
sebab itu ialah Tuhan.[14]
Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat Hume,
Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias mendatangkan
pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam skeptisisme, tapi
ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab akibat merupakan
suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi oleh Kant hal itu dianggap
berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus berada di depan
Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metoda induktif
ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki
mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga ketidakmampuan akal
induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat,
dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama Al
Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan
keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang
membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini,
kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat
dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa
menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar
telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau
terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat,
didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa
dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu
lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan
esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.[15]
5. Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan
esensi non-bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan
Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek
sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan
Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan
tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan
binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan
yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap
obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran
esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa
memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya
tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan
baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan,
kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan
kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas
merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir
adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada
perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik
dengan esensi Tuhan.[16]
2.
IBNU
BAJJAH
A.
Riwayat Hidup Ibnu Bajjah
Ibnu
Bajjah adalah filosof muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan
di Andalus. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Yahya ibnu
Al-Sha’igh, yang lebih terkenal dengan nama ibnu Bajjah. Orang barat
menyebutnya Avenpace. Ia dilahirkan di Saragossa (Spanyol) pada akhir abad ke-5
H/abad ke-11 M. Riwayat hidupnya secara rinci tidak tidak banyaqkm diketahui
orang. Begitu juga mengenai pendidikan yng ditempuhnya dan guru yang
mengasuhnya tidak terdapat informasi yang jelas.17
Selain sebagai seorang filsuf, Ibnu Bajjah dikenak sebagai penyair, komponis, bahkan sewaktu Saragossa berada di bawah kekuasaan Abu Bakar Ibnu Ibrahim al-Shahrawi dari daulah al-Murabithun, Ibnu Bajjah dipercayakan sebagai Wazir. Tetapi pada tahun 512 H Saragossa jatuh ke tangan raja Alfonso I dari Arogan dan Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke Sevilla. Di kota ini ia bekerja sebagai dokter, kemudian ia pindah ke Granada, dan dari sana ia pindah ke Afrika Utara, pusat dinasti Murabithun. Malang bagi Ibnu Bajjah setibanya di kota Syatibah ia ditangkap oleh Amir Abu Ishak Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasifin yang menuduhnya sebagai murtad dan pembawa bid’ah, karena pikiran-pikiran filsafatnya yang asing bagi masyarakat Islam di Maghribi yang sangat kental dengan paham sunni ortodoks. Atas jasa Ibnu Rusyd, yang pernah menjadi muridnya, Ibnu Bajjah dilepaskan. Ia melanjutkan karirnya sebagai ilmuwan di bawah perlindungan penguasa Murabithun. Akhirnya, ia meninggal pada 533 H (1138 M) di Fez, dan dimakamkan disamping makam ibn ’Arabi. Menurut satu riwayat ia meninggal karena diracuni oleh seorang dokter bernama Abu al-A’la ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.18
Selain sebagai seorang filsuf, Ibnu Bajjah dikenak sebagai penyair, komponis, bahkan sewaktu Saragossa berada di bawah kekuasaan Abu Bakar Ibnu Ibrahim al-Shahrawi dari daulah al-Murabithun, Ibnu Bajjah dipercayakan sebagai Wazir. Tetapi pada tahun 512 H Saragossa jatuh ke tangan raja Alfonso I dari Arogan dan Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke Sevilla. Di kota ini ia bekerja sebagai dokter, kemudian ia pindah ke Granada, dan dari sana ia pindah ke Afrika Utara, pusat dinasti Murabithun. Malang bagi Ibnu Bajjah setibanya di kota Syatibah ia ditangkap oleh Amir Abu Ishak Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasifin yang menuduhnya sebagai murtad dan pembawa bid’ah, karena pikiran-pikiran filsafatnya yang asing bagi masyarakat Islam di Maghribi yang sangat kental dengan paham sunni ortodoks. Atas jasa Ibnu Rusyd, yang pernah menjadi muridnya, Ibnu Bajjah dilepaskan. Ia melanjutkan karirnya sebagai ilmuwan di bawah perlindungan penguasa Murabithun. Akhirnya, ia meninggal pada 533 H (1138 M) di Fez, dan dimakamkan disamping makam ibn ’Arabi. Menurut satu riwayat ia meninggal karena diracuni oleh seorang dokter bernama Abu al-A’la ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.18
B.
Karya Tulis Ibnu Bajjah
Menurut
Ibnu Thufail, Ibnu Bajjah adalah seorang filosof muslim yang paling cemerlang
otaknya, paling tepat anallisisnya, dan paling benar pemikirannya. Namun, amat
disayangkan pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan
sempurna. Ini disebabkan ambisi keduniaannya yang begitu besar dan kematiannya
yang begitu cepat.
Karya tulis Ibnu Bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat ialah sebagai berikut:
Karya tulis Ibnu Bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat ialah sebagai berikut:
·
Kitab Tadbir al-Mutawahhid, ini adalah kitab
yang paling popular dan terpenting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini
diberisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari
segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya
sebagai Insan Muwahhid (manusia penyendiri).
·
Risalat al-Wada’, risalah ini membahas penggerak
pertama (Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran.
·
Rilasat al-Ittishal,risalah ini menguraikan
tentang hubungan manusia dengan akal fa’al.
·
Kitab al-Nafsh, kitab ini menjelaskan tentang
jiwa.
·
Tardiyyah, berisi tentang syair pujian
·
Risalah-risalh Ibnu Bajjah yang berisi tentang
penjelasan-penjelasan atas risalah-risalah al-Faraby dalam masalah logika.
·
Majalah al-Majama’ al-’Ilm al-’Arabi.19[17]
C.
Filsafat Ibnu Bajjah
Filsafat
Ibnu Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari kawasan di timur,
seperti al-Faraby dan Ibnu Sina. Hal ini disebabkan kawasan islam di timur
lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat dari kwasan islam
di barat (Andalus). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan menelusuri
pemikiran filsafatnya.
1.
Metafisika (Ketuhanan)
Menurut
Ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi menjadi dua: yang bergerak
dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya
finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang
digerakkan. Gerakan ini digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yangakhir
rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak, dalam arti
penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Gerak jisim
mustahil timbul dari substansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu,
gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas), yang
oleh Ibnu Bajjah disebut dengan akal.
Kesimpulannya, gerakan alam ini jisim yang terbatas digerakkan oleh akal (bukan berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak ialah akal, ia menggerakkan akal dan ia sendiri tidak bergerak. Akal inilah yang disebut dengan Allah (’aqlu ’aqil dan ma’qul); sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Faraby dan Ibnu Sina sebelumnya.
Kesimpulannya, gerakan alam ini jisim yang terbatas digerakkan oleh akal (bukan berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak ialah akal, ia menggerakkan akal dan ia sendiri tidak bergerak. Akal inilah yang disebut dengan Allah (’aqlu ’aqil dan ma’qul); sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Faraby dan Ibnu Sina sebelumnya.
2.
Materi dan Bentuk
Menurut
pandangan Ibnu Bajjah, materi (al-Hayula) tidak mungkin bereksistensi tanpa
bentuk (al-Shurat). Sementara itu, bentuk bisa bereksistensi dengan sendirinya
tanpa materi. Jika tidak, secara pasti kita tidak mungkin dapat menggambarkan
adanya modifikasi (perubahan-perubahan) pada benda. Perubahan-perubahan tersebut
adalah suatu kemungkinan dan inilah yang dimaksud dengan pengertian bentuk
materi.
Pandangan Ibnu Bajjah ini diwarnai oleh pemikiran Aristoteles dan Plato. Menurut Aristoteles, materi adalah sesuatu yang menerima bentuk yang bersifat potensialitas dan dapat berubah sesuai bentuk. Sementara menurut pandangan Plato, bentuk adalah nyata dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk bereksistensi. Bentuk, menurut Plato, terdapat diluar benda. Bentuk yang dimaksud Ibnu Bajjah mencakup arti jiwa, daya, makna, dan konsep. Bentuk hannya dapat ditangkap dengan akal dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Bentuk pertama, menurut Ibnu Bajjah, merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi, yang dikatakannya sebagai tidak mempunyai bentuk.
Pandangan Ibnu Bajjah ini diwarnai oleh pemikiran Aristoteles dan Plato. Menurut Aristoteles, materi adalah sesuatu yang menerima bentuk yang bersifat potensialitas dan dapat berubah sesuai bentuk. Sementara menurut pandangan Plato, bentuk adalah nyata dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk bereksistensi. Bentuk, menurut Plato, terdapat diluar benda. Bentuk yang dimaksud Ibnu Bajjah mencakup arti jiwa, daya, makna, dan konsep. Bentuk hannya dapat ditangkap dengan akal dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Bentuk pertama, menurut Ibnu Bajjah, merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi, yang dikatakannya sebagai tidak mempunyai bentuk.
3.
Jiwa
Menurut
pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini tidak
mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia.
Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat
rohaniah. Alat-alat jasmaniah diantaranya ada berupa buatan dan ada pula yang
berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu
dari alat buatan, yang disebut juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri
(al-Harr al-gharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang
berdarah.
Jiwa, menurut Ibnu Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di akherat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka). Akal, daya berfikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang berakal. Ia dapat bersatu dengan akal fa’al yang diatasnya dengan jalan ma’rifah filsafat.
Jiwa, menurut Ibnu Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di akherat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka). Akal, daya berfikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang berakal. Ia dapat bersatu dengan akal fa’al yang diatasnya dengan jalan ma’rifah filsafat.
4.
Akal dan Ma’rifah
Ibnu
Bajjah menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting. Dengan perantaraan
akal, manusia dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk dalam mencapai kebahagiaan
dan masalah Ilahiyat. Oleh karena itu pengetahuan yang diperoleh akal ada dua
jenis pula: yang dapat tetapi tidak dapat dihayati, yang dapat dipahami dan
dapat pula dihayati.
Berbeda dengan Al-Ghazali, menurut Ibnu Bajjah manusia dapat mencapai puncak ma’rifah dengan akal semata bukan dengan jalan sufi melalui al-qalb. Manusia kata Ibnu bajjah, setelah bersih dari sifat kerendahan dan keburuka masyarakat akan dapat bersatu dengan akal aktif dan ketika itulah ia akan memperoleh puncak ma’rifah karena limpahan dari Allah.
Berbeda dengan Al-Ghazali, menurut Ibnu Bajjah manusia dapat mencapai puncak ma’rifah dengan akal semata bukan dengan jalan sufi melalui al-qalb. Manusia kata Ibnu bajjah, setelah bersih dari sifat kerendahan dan keburuka masyarakat akan dapat bersatu dengan akal aktif dan ketika itulah ia akan memperoleh puncak ma’rifah karena limpahan dari Allah.
5.
Akhlak
Ibnu
Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi.
Perbuatan didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan
dan keinginana hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan
yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur.
Sebagai contoh, perbuatan makan bisa dikatagorikan perbuatan hewani dan bisa
pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan
untuk keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun,
apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam
mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan
manusiawi. Perbedaan antara kedua ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan
pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis
perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio (akal) maka dinamakan
perbuatan manusiawi.
Pandangan Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan ajaran islam, yang juga mendasarkan perbuatan pada motivasi pelakunya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa manusia yang mendasarkan perbuatannya atas iradah yang merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan.
Pandangan Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan ajaran islam, yang juga mendasarkan perbuatan pada motivasi pelakunya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa manusia yang mendasarkan perbuatannya atas iradah yang merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan.
6.
Politik
Pandangan
politik Ibnu Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik Al-Farabi. Sebagaimana
Al-Farabi, dalam buku Ara’ Ahl al-Madinat al-Fadhilat, ia (Ibnu Bajjah) juga
memebagi negara menjadi negara utama (al-Madinat al-Fadhilat) atau sempurna dan
negara yang tidak sempurna, seperti negara jahilah, fasiqah, dan lainnya.
Demikian juga tentang hal-hal yang lain, seperti persyaratan kepala negara dan tugas-tugasnya selain pengatur negara, juga pengajar dan pendidik. Pendapat Ibnu Bajjh sejalan dengan Al-Farabi. Perbedaanyya hanya terletak pada penekanannya. Al-Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibnu Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat).
Berbeda dengan AL-Farabi, dalam konsep politiknya Ibnu Bajjah menambahkan adanya diantara masyarakat yang mutawahhid, yaitu uzlah falsafi yang berbeda dengan uzlah tasawuf Al-Ghazali.
Demikian juga tentang hal-hal yang lain, seperti persyaratan kepala negara dan tugas-tugasnya selain pengatur negara, juga pengajar dan pendidik. Pendapat Ibnu Bajjh sejalan dengan Al-Farabi. Perbedaanyya hanya terletak pada penekanannya. Al-Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibnu Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat).
Berbeda dengan AL-Farabi, dalam konsep politiknya Ibnu Bajjah menambahkan adanya diantara masyarakat yang mutawahhid, yaitu uzlah falsafi yang berbeda dengan uzlah tasawuf Al-Ghazali.
7.
Tasawuf (manusia Penyendiri)
Renan
berpendapat bahwa Ibnu Bajjah memiliki kecenderungan kepada tasawuf, tapi tentu
salah ketika dia menganggap bahwa Ibnu Bajjah menyerang al-Ghozali karena ia
menandaskan intuisi dan tasawuf. Sesungguhnya, Ibnu Bajjah mengagumi al-Ghozali
dan menyatakan bahwa metode al-Ghozali memampukan orang memperoleh pengetahuan
tentang Tuhan, dan bahwa metode ini didasarkan pada ajaran-ajaran nabi suci. Sang
sufi menerima cahaya di dalam hatinya. Cahaya di dalam hatinya ini merupakan
suatu spekulasi, yang lewat spekulasi itu hati melihat hal-hal yang dapat
dipahami seperti orang melihat obyek yang tertimpa sinar matahari lewat
penglihatan mata, dan lewat pemahaman hal-hal yang dapat dipahami ini dia
melihat semua yang melalui implikasi mendahului mereka atau menggantikan
mereka.
D.
Tadbir al-Mutawahhid
Ibnu
Bajjah menjelaskan tentang tadbir, bahwa kata ini mencakup pengertian umum dan
khusus. Tadbir dalam pengertian umum, seperti disebutkan diatas, adalah segala
bentuk perbuatan manusia. Sementara itu, tadbir dalam pengertian khusus adalah
pengaturan negara dalam mencapai tujuan tertentu, yakni kebahagiaa. Pada pihak
lain, filosof pertama Spanyol ini menghubungkan istilah tadbir kepada Allah
SWT. Karena Allah SWT Maha Pengtur, yang disebut al-Mutadabbir. Ia telah
mengatur alam sedemikian rapi dan teratur tanpa cacat. Pemakaian kata ini
kepada Allah hanya untuk penyerupaan semata. Akan tetapi, pendapat Ibnu Bajjah
ini memang ada benarnya. Tadbir yang akan dilaksanakan manusia mestinya
mencontoh tadbir Allah SWT. terhadap alam semesta. Selain itu, tadbir hanya
dapat dilaksanakan berdasarkan akal dan ikhtiar. Pengertian ini tercakup
manusia memilki akal dan Allah yang dalam filsafat disebut dengan akal.
Berhubungan
dengan orang lain tidak mungkin sebab dikhawatirkan akan terpengaruh oleh
perbuatan yang tidak baik. Sementara itu, al-mutawahhid yang dimaksud Ibnu
Bajjah ialah seorang filosof atau beberapa orang filosof hidup menyendiri pada
salah satu negara dari negara yang tidak sempurna, seperti negara Fasiqah,
Jahilah, Berubah dan lain-lainnya. Apabila tidak demikian, tidak mungkin
baginya untuk mencapai kebahagiaan. Pada pihak lain, sebagaimana tadbir
al-mutawahhid juga dikaitkan kepada Allah, al-Wahid, al-Ahad (Yang Satu, Yang
Esa) Allah adalah jauhar yang bersifat dengan sifat ahad (Esa) dan tidak
satupun yang dapat dilestarikan dengann-Nya (kufuan ahad). Dari uraian ini
dapat dilihat bahwa seolah-olah filosof pertama Spanyol ini mensinyalkan bahwa
manusia harus meniru sifat ahad Allah. Dengan sifat seperti inilah manusia
tidak terpengaruh dari perbuatan-perbuatan buruk masyarakat dan ia akan dapat
mencapai kebahagiaan.20[18]
BAB III
PENUTUP
A.
Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai
berikut:
1. Ibnu
Thufail dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada
tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan
Abubacer.
2. Karya
Ibnu Thufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu
Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”).
3. Ajaran
Filsafat Ibnu Thufail meliputi tentang Dunia, tentang Tuhan, tentang kosmologi
cahaya, dan tentang epistimologi pengetahuan dan etika/akhlak.
Berkaitan dengan teori al-ittishal
tersebut, Ibnu Bajjah juga mengajukan satu bentuk epistemology yang berbeda
dengan corak yang dikemukakan oleh al-Ghazali di dunia islam timur.
Tadbir al-Muwahhid ini berisikan delapan pasal, yaitu:
1. Penjelasan mengenai kata tadbir
2. Penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaan
3. Penjelasan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri
4. Mengenai pembagian perbuatan manusia ang menjadi tiga macam
5. Seorang Mutawahhid (penyendiri) harus memilih tingkatan perbuatan yang paling tinggi
6. Dan kembali memperpangjang bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang
Tadbir al-Muwahhid ini berisikan delapan pasal, yaitu:
1. Penjelasan mengenai kata tadbir
2. Penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaan
3. Penjelasan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri
4. Mengenai pembagian perbuatan manusia ang menjadi tiga macam
5. Seorang Mutawahhid (penyendiri) harus memilih tingkatan perbuatan yang paling tinggi
6. Dan kembali memperpangjang bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang
bertalian dengannya
7. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir
7. Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir
B.
Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta
kekeliruan, baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan
sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia
adalah tempatnya salah dan lupa.
DAFTAR PUSTAKA
Depag
RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya: UD. Mekar, 2000.
http://bataviase.co.id/detailberita-10495945.html
http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
Musthofa.
Filsafat Islam, Bandung: SV Pustaka Setia, 2004
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
Mustofa,
Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Sirajuddin.
Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
Sudarsono,
Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Thufail,
Ibnu, Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan.
Diterjemahkan oleh: Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar