Jumat, 17 Oktober 2014

Filsafat Islam Di Dunia Barat



BAB I
PENDAHULUAN

A.       Latar Belakang
Peradaban Islam melahirkan banyak ahli filsafat yang ternama. Namun entah mengapa filsafat dan kesusastraan Islam tetap dianggap sebagai satu kelompok yang hilang dalam sejarah pemikiran manusia. Jangan heran bila dalam studi sejarah pemikiran, lebih mengenal tokoh-tokoh yang berasal dari Yunani dan Barat ketimbang dari Islam.
Meskipun para ulama Islam yang ahli di bidang pemikiran dan kebudayaan seperti seperti al-Ghazali, Ibnu Thufayl, al-Kindi, al-Farabi, dan Ibn Sina dianggap brilian, namun mereka tak mendapat tempat yang sewajarnya dibandingkan dengan tokoh Yunani seperti Plato dan Aristoteles.
Anggapan ini ternyata salah. Ia sebenarnya hanya seperti juga Al Gazali , merasa telah mencapai tingkat makrifat yang tinggi seperti katanya: ”Fakana makana mimma lastu adkuruhu. Fadhonnu khoiran wala tasal anil khobari.” (terjadilah sesuatu yang tidak akan disebutkan akan tetapi sangkalah dia sebagai suatu kebaikan juga, dan jangan tanya tentang beritanya).

B.       Rumusan Masalah
Dari latar belakang di atas timbul permasalahan yang perlu dibahas dalam makalah ini, sebagaimana berikut :
1.      Bagaimana sejarah hidup Ibnu Thufail ?
2.      Apa saja karya-karya Ibnu Thufail ?
3.      Bagaimana latar belakang pemikiran filsafat Ibnu Bajjah sebagai seorang filsuf dan sufi sekaligus?
4.      Bagaimana pokok-pokok pemikiran filsafat Ibnu Bajjah terutama konsepnya tentang Tadbir Al-Mutawahhid?

C.       Tujuan Pembahasan
1.      Untuk mengetahui sejarah perjalan hidup Ibnu Thufail
2.      Untuk mengetahui apa saja karya-karya Ibnu Thufail dan Ibnu Banjjah
3.      Untuk mengetahui pemikiran dan filsafat yang dianut oleh Ibnu Bajjah

BAB II
PEMBAHASAN

1.      IBNU THUFAIL
A.       Sejarah Ibnu Thufail
Nama lengkap Ibnu Thufail ialah Abu Bakar ibnu Abd Al-Malik ibn Muhammad ibnu Thufail أبو بكر بن عبد الملك بن محمد بن طفيل القيسي الأندلسي. Ia dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.[1]
Pada masa khalifah Abu Yaquf Yusuf, Ibnu Thufail mempunyai pengaruh yang besar dalam pemerintahan. Pada pihak lain, khalifah sendiri mencintai ilmu pengetahuan dan secara khusus adalah peminat filsafat serta memberi kebebasan berfilsafat. Sikapnya itu menjadikan pemerintahannya sebagai pemuka pemikiran filosofis dan membuat Spanyol, seperti dikatakan R. Briffault sebagai “tempat kelahiran kembali negeri Eropa”.[2]
Kemudian ia mengundurkan diri dari jabatannya sebagai dokter pemerintah pada tahun 578 H / 1182 M, dikarenakan usianya yang sudah uzur. Kedudukannya itu digantikan oleh Ibnu Rusd atas permintaan dari Ibnu Thufail. Tapi dia tetap mendapatkan penghargaan dari Abu Yaqub dan setelah dia meninggal pada tahun 581 H / 1185 M) di Marakesh (Maroko) dan dimakamkan disana, Al-Mansur sendiri hadir dalam upacara pemakamannya.[3]
Namun bukan semua itu yang menjadikan nama Ibnu Tufail dikenang dalam sejarah Islam bahkan sejarah dunia. Sebuah master-piece Ibn Tofail berjudul "حي بن يقظان" Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”), di Barat dikenal sebagai: Philosophus Autodidactus) telah menorehkan tinta emas di atas lembaran sejarah sebagai salah satu karya paling berharga yang pernah ada di bidang filsafat.
Dalam mengarang buku ini Ibnu Tufail banyak terpengaruh filsafat Plato. Pemikhran-pemikiran filosofis Ibn Tofail ketika menulis buku ini telah mencapai taraf yang paling matang. Ditulisnya pemikiran-pemikirannya dalam bentuk novel alegori sembari menawarkan sebuah korelasi filsafat antara akal dan agama dalam pencarian kebenaran hakiki.[4]

B.        Karya-Karya Ibnu Tufail
Sejarah mencatat bahwa Ibnu Tufail dan Ibnu Rusyd sering berbincang, berdebat dan saling evaluasi seputar masalah-masalah kedokteran dan filsafat. Evaluasi dan perdebatan mereka yang khusus membicarakan tentang kedokteran kemudian dicatat oleh Ibnu Tufail dalam karyanya "مراجعات ومباحث" (Muraja'at wa Mabahits; Revisi-revisi dan pembahasan -red). Lalu catatan tulisan ini oleh Ibnu Rusyd dimasukkan menjadi bagian dari salah satu karangannya: "الكليات" (al-Kulliyyat). Karya kedokteran lain dari Ibnu Tufail yang masih bisa dinikmati adalah "الأرجوزة في الطب" (Arjuzah fi at-Thib) sepanjang 7700 bait, sekarang masih tersimpan di perpustakaan Jami' al-Qarawiyyin Fes - Maroko dalam bentuk manuskrip.[5]
Selain mumpuni di bidang kedokteran, Ibnu Tufail juga merupakan master bidang astronomi. Teori-teori briliannya di bidang ilmu perbintangan secara ringkas dilukiskan oleh Lyon Goteh (?)-seorang orientalis Perancis: "Walaupun tidak ditemukan tulisan-tulisan Ibnu Tufail di bidang astronomi, namun kita tahu bahwa dia tidak setuju dengan teori system jagat raya yang diletakkan Batlimus, bahkan Ibnu Tufail telah memiliki teori baru". Hal ini dikuatkan oleh pernyataan Ibn Rusyd bahwa Ibnu Tufail memiliki teori-teori sensasional sekitar system jagat raya dan dasar-dasar perputarannya.[6]
Miquel Casiri ( 1112 H/1710 M -1205 H/1790 M ) menyebutkan dua karya yang masih ada: risalah hay ibn yaqzan dan asrar Al hikmah Al mashariqiyah, yang disebut terakhir ini berbentuk naskah. Kata pengantar dari asrar menyebutkan bahwa risalah itu hanya merupakan satu bagian dari risalah Hay Ibn Yaqzan, yang judul lengkapnya ialah Risalah Hayy Ibn Yaqzan fi Asrar Al hikamat Al mashariqiyah.
Beberapa karya Ibnu Tufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”) karya ini memang sama dengan buah karya Ibnu Sina yang diakunya sendiri berisikan kebijaksanaan timur (Orental Wisdom). Kebijaksanaan timur pulalah yang menjadi pokok pikiran Ibnu Tufail dalam buku ini. Seperti diakui Ibnu Tufail, pokok pikiran ini bisa diidentifikasi sebagai tasawwuf yang kala itu ditolak oleh kebanyakan filosof muslim termasuk Ibnu Bajjah. Diskursus rasional, menurut para filosof anti tasawuf bertolak belakang dengan pengalaman mistis yang oleh para ahli diyakini bersifat ektra rasional dan tak terperikan.
C.       Ajaran Filsafat Ibnu Tufail
1.      Tentang Dunia
Salah satu masalah filsafat adalah apakah dunia itu kekal, atau diciptakan oleh tuhan dari ketiadaan atas kehendak-Nya? Dalam filsafat Islam, Ibnu Tufail, sejalan dengan kemahiran dialektisnya, menghadapi masalah itu dengan tepat. Tidak seperti pendahulunya, dia tidak menganut salah satu doktrin saingannya,  dan tidak berusaha mendamaikan mereka.    Di lain pihak, dia mengecam dengan pedas para pengikut Aristoteles dan sikap-sikap teologis. Kekekalan dunia melibatkan konsep eksistensi tak terbatas yang tak kurang mustahilnya dibandingkan gagasan tentang rentangan tak terbatas. Eksistensi seperti itu tidak lepas dari kejadian-kejadian yang diciptakan dan karena itu tidak dapat mendahului mereka dalam hal waktu, dan yang tidak dapat sebelum kejadian-kejadian yang tercipta itu pasti tercipta secara lambat laun. Begitu pula konsep Creatio Ex Nihilo tidak dapat mempertahankan penelitiannya yang seksama.[7]
Sebagaimana Al-Ghazali, dia mengemukakan bahwa gagasan mengenai kemaujudan sebelum ketidakmaujudan tidak dapat dipahami tanpa anggapan bahwa waktu itu telah ada sebelum dunia ada, tapi waktu itu sendiri merupakan suatu kejadian tak terpisahkan dari dunia, dan karena itu kemaujudan dunia di kesampingkan lagi, segala yang tercipta pasti membutuhkan pencipta. Kalau begitu mengapa sang pencipta menciptakan dunia saat itu bukan sebelumnya? Apakah hal itu dikarenakan oleh suatu yang terjadi atas-Nya? Tentu saja tidak, sebab tiada sesuatupun sebelum dia untuk membuat sesuatu terjadi atas-Nya. Apakah hal itu mesti bersumber dari suatu perubahan yang terjadi atas sifat-Nya? Tapi adakah yang menyebabkan terjadinya perubahan tersebut? Karena itu Ibnu Tufail tidak menerima baik pandangan mengenai kekekalan maupun penciptaan sementara dunia ini.[8]
2.      Tentang Tuhan
Penciptaan dunia yang berlangsung lambat laun itu mensyaratkan adanya satu pencipta, sebab dunia tak bisa maujud dengan sendirinya. Juga, sang Pencipta bersifat immaterial, sebab materi yang merupakan suatu kejadian dunia diciptakan oleh satu pencipta. Dipihak lain anggapan bahwa Tuhan bersifat material akan membawa suatu kemunduran yang tiada akhir yang adalah musykil. Oleh karena itu dunia ini pasti mempunyai penciptanya yang tidak berwujud benda. Dan karena Dia bersifat immaterial, maka kita tidak dapat mengenalNya lewat indera kita ataupun lewat imajinasi, sebab imajinasi hanya menggambarkan hal-hal yang dapat ditangkap oleh indera.[9]
Tuhan dan dunia yang keduanya kekal, bagaimana bisa yang pertama dianggap sebagai penyebab adanya yang kedua? Dengan mengikuti pandangan Ibnu Sina, Ibnu Thufail membuat perbedaan antara kekekalan dalam esensi dan kekekalan dalam waktu, Dan percaya Tuhan ada sebelum adanya dunia dalam hal esensi tapi tidak dalam hal waktu. Ambillah satu contoh, jika kau pegang sebuah benda dengan tanganmu dan kau gerakkan tanganmu, maka benda itu tak gerak lagi, akan bergerak dikarenakan gerak tangan itu, jadi gerak itu bergantung kepada gerak tangan. Gerak tangan mendahului gerak benda dalam esensinya, dan gerak benda diambil dari gerak tangan tersebut, meskipun dalam soal waktu keduanya tak saling mendahului.
Mengenai pandangan bahwa dunia dan Tuhan sama-sama kekal, Ibnu Tufail mempertahankan pendapat mistisnya bahwa dunia ini bukanlah suatu yang lain dari Tuhan. Dan mengenai esensi Tuhan yang ditafsirkan sebagai cahaya yang sifat esensialnya merupakan penerangan dan pengejawantahan, sebagaimana dipercaya oleh Al Ghazali, Ibnu Tufail memandang dunia ini sebagai pengejawantahan dari esensi Tuhan sendiri dan bayangan cahaya-Nya sendiri yang tidak berawal atau berakhir. Dunia tidak akan hancur sebagaimana yang ada pada kepercayaan akan Hari penentuan. Kehancurannya berupa keberalihannya menjadi bentuk lain dan bukannya merupakan suatu kehancuran sepenuhnya. Dunia mesti terus berlangsung dalam satu atau bentuk lain sebab kehancurannya tidak sesuai dengan kebenaran mistis yang tinggi, yaitu bahwa sifat esensi Tuhan merupakan penerangan dan pengejawantahan kekal.[10]
Di dalam roman filsafatnya yang menarik itu Ibnu Thufail menggambarkan kepada manusia bahwa kepercayaan kepada Allah adalah satu bagian dari fitrah manusia yang tidak dapat disangkal dan bahwa akal yang sehat dengan memperhatikan dan merenungkan alam sekitarnya tentu akan sampai kepada Tuhan.[11]
3.      Tentang Kosmologi Cahaya
Ibnu Tufail menerima prinsip bahwa dari satu tidak ada lagi apa-apa kecuali satu itu. Manivestasi kemajemukan, kemaujudan dari yang satu dijelaskannya dalam gaya new platonik yang monoton, sebagai tahap-tahap berurutan pemancaran yang berasal dari cahaya Tuhan. Proses situ pada prinsipnya, sama dengan refleksi terus menerus cahaya matahari kepada cermin. Cahaya matahari yang jatuh pada cermin yang dari sana menuju ke yang lain dan seterusnya, menunjukkkan kemajemukan . semua itu merupakan pantulan matahari dan bukan matahari itu sendiri, juga bukan cermin itu sendiri, bukan pula suatu yang lain dari matahari dan cermin itu. Kemajemukan cahaya yang dipantulkan itu hilang menyatu dengan matahari kalau kita pandang sumber cahaya itu, tapi timbul lagi bila kita lihat dicermin, yang disitu cahaya tersebut dipantulkan. Hal yang sama juga berlaku pada cahaya pertama serta perwujudannya di dalam kosmos.[12]
4.      Epistemologi Pengetahuan
Tahap pertama jiwa bukanlah suatu tabularasa atau papan tulis kosong, imaji tuhan telah tersirat di dalamnya sejak awal, tapi untuk menjadikannya tampak nyata, kita perlu memulai dengan pikiran yang jernih tanpa prasangka keterlepasan dari prasangka dan kecenderungan sosial sebagai kondisi awal semua pengetahuan, merupakan gagasan sesungguhnya dibalik kelahiran tiba-tiba Hay di pulau kosong. Setelah hal ini tercapai pengalaman, inteleksi dan exstasi memainkan dengan bebas peranan mereka secara berurutan dalam memberikan visi yang jernih tentang kebenaran yang melekat pada jiwa. Bukan hanya disiplin jiwa, tapi pendidikan indra dan akal yang diperlukan untuk mendapatkan visi semacam itu. Kesesuaian antara pengalaman dan nalar, disatu pihak, dan kesesuaian antara nalar dan intuisi, dipihak lain membentuk esensi epistimologi Ibnu Tufail.[13]
Pengalaman akan menjadi suatu proses mengenal lingkungan lewat indera. Organ-organ indera ini berfungsi berkat jiwa hewan yang ada di dalam hati, dari sana berbagai data indera yang kacau mencapai otak menyebarkanya ke seluruh tubuh lewat jalur syaraf. Kemudian dikirimkan ke otak lewat jalur yang sama, di situ diproses menjadi satu kesatuan perspektif.
Pengamatan memberi kita pengetahuan mengenai benda-benda yang oleh akal induktif, dengan akat-alat pembanding dan pembedaannya, dikelompokkan menjadi mineral, tanaman dan hewan. Setiap kelompok benda ini memperlihatkan fungsi-fungsi tertentu, yang membuat kita menerima bentuk-bentuk atau jiwa-jiwa (seperti Aristoteles) sebagai penyebab fungsi-fungsi tertentu berbagai benda. Tapi hipotesis semacam iti tidaklah dapat dipertahankan atas dasar induktif, sebab bentuk atau jiwa yang dimaksud itu tidak dapat diamati secara langsung. Tak pelak lagi tindakan-tindakan tampak muncul dari suatu tubuh tertentu; tapi kenyataannya, mereka tidak ditimbulkan bukan oleh tubuh itu atau ruh tubuh itu, melainkan oleh sebab tertentu yang ada di luarnya dan sebab itu ialah Tuhan.[14]
Mengikuti pendapat Al Ghazali dan mendahului pendapat Hume, Ibnu Thufail tidak melihat adanya kekuatan pada sebab yang bias mendatangkan pengaruh sebagaimana biasanya. Empirisme Hume berakhir dalam skeptisisme, tapi ketasawufan Ibnu Thufail membuatnya melihat bahwa ikatan sebab akibat merupakan suatu tindak perpaduan yang berasal dari Tuhan, tapi oleh Kant hal itu dianggap berasal dari bentuk apriori pemahaman. Ibnu Thufail sekaligus berada di depan Bacon, Hume dan Kant. Dia telah mengemukakan terlebih dahulu metoda induktif ilmu modern; melihat ketidakmampuan nalar teoritis untuk menjawab teka-teki mengenai kekekalan dan penciptaan sementara dunia ini, juga ketidakmampuan akal induktif untuk menetapkan suatu hubungan yang tegas antara sebab dan akibat, dan akhirnya menjernihkan awan skeptisisme dengan membuat pernyataan bersama Al Ghazali bahwa rangkaian sebab akibat itu merupakan tindakan terpadu Tuhan.
Setelah mendidik akal dan indra serta memperhatikan keterbatasan keduanya, Ibnu Tufail akhirnya berpaling kepada disiplin jiwa yang membawa kepada ekstasi, sumber tertinggi pengetahuan. Dalam taraf ini, kebenaran tidak lagi dicapai lewat proses deduksi atau induksi, tapi dapat dilihat secara langsung dan intiutif lewat cahaya yang ada didalamnya. Jiwa menjadi sadar diri dan mengalami apa yang tak pernah dilihat mata atau didengar telinga atau dirasa hati orang manapun. Tarap ekstasi tak terkatakan atau terlukiskan sebab lingkup kata-kata terbatas pada apa yang dapat dilihat, didengar atau dirasa. Esensi tuhan yang merupakan cahaya suci hanya bisa dilihat lewat cahaya didalam esensi itu sendiri yang masuk dalam esensi itu lewat pendidikan yang tepat atas indra, akal serta jiwa. Karena itu pengetahuan esensi merupakan esensi itu sendiri. Esensi dan visinya adalah sama.[15]
5.      Etika/Akhlak
Manusia merupakan suatu perpaduan tubuh, jiwa hewani dan esensi non-bendawi, dan demikian menggambarkan binatang, benda angkasa dan Tuhan. Karena itu pendakian jiwanya terletak pada pemuasan ketiga aspek sifatnya,Dengan cara meniru tindakan-tindakan hewan, benda-benda angkasa dan Tuhan. Mengenai peniruannya pertama, ia terikat untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya dan kebutuhan-kebutuhan pokok serta menjaganya dari cuaca buruk dan binatang buas, dengan satu tujuan yaitu mempertahankan jiwa hewani. Peniruan yang kedua menuntut darinya kebersihan pakaian dan tubuh, kebaikan terhadap obyek-obyek hidup dan tak hidup, perenungan atas esensi Tuhan dan perputaran esensi orang dalam ekstase.
Ibnu Tufail tampaknya percaya bahwa benda-benda angkasa memiliki jiwa hewani dan tenggelam dalam perenungan yang tak habis-habisnya tentang Tuhan. Terakhir, dia harus melengkapi dirinya dengan sifat-sifat Tuhan baik yang positif maupun yang negative, yaitu pengetahuan, kekuasaan, kebijaksanaan, kebebasan dari keinginan jasmaniah, dan sebagainya. Melaksanakan kewajiban diri sendiri, demi yang lain-lainnya dan demi Tuhan, secara ringkas merupakan salah satu disiplin jiwa yang esensial. Kewajiban yang terakhir adalah suatu akhir diri, dua yang disebut sebelumnya membawa kepada perwujudannya dalam visi akan rahmat Tuhan, dan visi sekaligus menjadi identik dengan esensi Tuhan.[16]

2.      IBNU BAJJAH
A.    Riwayat Hidup Ibnu Bajjah
Ibnu Bajjah adalah filosof muslim yang pertama dan utama dalam sejarah kefilsafatan di Andalus. Nama lengkapnya adalah Abu Bakar Muhammad ibnu Yahya ibnu Al-Sha’igh, yang lebih terkenal dengan nama ibnu Bajjah. Orang barat menyebutnya Avenpace. Ia dilahirkan di Saragossa (Spanyol) pada akhir abad ke-5 H/abad ke-11 M. Riwayat hidupnya secara rinci tidak tidak banyaqkm diketahui orang. Begitu juga mengenai pendidikan yng ditempuhnya dan guru yang mengasuhnya tidak terdapat informasi yang jelas.17
Selain sebagai seorang filsuf, Ibnu Bajjah dikenak sebagai penyair, komponis, bahkan sewaktu Saragossa berada di bawah kekuasaan Abu Bakar Ibnu Ibrahim al-Shahrawi dari daulah al-Murabithun, Ibnu Bajjah dipercayakan sebagai Wazir. Tetapi pada tahun 512 H Saragossa jatuh ke tangan raja Alfonso I dari Arogan dan Ibnu Bajjah terpaksa pindah ke Sevilla. Di kota ini ia bekerja sebagai dokter, kemudian ia pindah ke Granada, dan dari sana ia pindah ke Afrika Utara, pusat dinasti Murabithun. Malang bagi Ibnu Bajjah setibanya di kota Syatibah ia ditangkap oleh Amir Abu Ishak Ibrahim Ibnu Yusuf Ibnu Tasifin yang menuduhnya sebagai murtad dan pembawa bid’ah, karena pikiran-pikiran filsafatnya yang asing bagi masyarakat Islam di Maghribi yang sangat kental dengan paham sunni ortodoks. Atas jasa Ibnu Rusyd, yang pernah menjadi muridnya, Ibnu Bajjah dilepaskan. Ia melanjutkan karirnya sebagai ilmuwan di bawah perlindungan penguasa Murabithun. Akhirnya, ia meninggal pada 533 H (1138 M) di Fez, dan dimakamkan disamping makam ibn ’Arabi. Menurut satu riwayat ia meninggal karena diracuni oleh seorang dokter bernama Abu al-A’la ibn Zuhri yang iri hati terhadap kecerdasan, ilmu, dan ketenarannya.18
B.     Karya Tulis Ibnu Bajjah
Menurut Ibnu Thufail, Ibnu Bajjah adalah seorang filosof muslim yang paling cemerlang otaknya, paling tepat anallisisnya, dan paling benar pemikirannya. Namun, amat disayangkan pembahasan filsafatnya dalam beberapa bukunya tidaklah matang dan sempurna. Ini disebabkan ambisi keduniaannya yang begitu besar dan kematiannya yang begitu cepat.
Karya tulis Ibnu Bajjah yang terpenting dalam bidang filsafat ialah sebagai berikut:
·         Kitab Tadbir al-Mutawahhid, ini adalah kitab yang paling popular dan terpenting dari seluruh karya tulisnya. Kitab ini diberisikan akhlak dan politik serta usaha-usaha individu menjauhkan diri dari segala macam keburukan-keburukan dalam masyarakat negara, yang disebutnya sebagai Insan Muwahhid (manusia penyendiri).
·         Risalat al-Wada’, risalah ini membahas penggerak pertama (Tuhan), manusia, alam, dan kedokteran.
·         Rilasat al-Ittishal,risalah ini menguraikan tentang hubungan manusia dengan akal fa’al.
·         Kitab al-Nafsh, kitab ini menjelaskan tentang jiwa.
·         Tardiyyah, berisi tentang syair pujian
·         Risalah-risalh Ibnu Bajjah yang berisi tentang penjelasan-penjelasan atas risalah-risalah al-Faraby dalam masalah logika.
·         Majalah al-Majama’ al-’Ilm al-’Arabi.19[17]

C.     Filsafat Ibnu Bajjah
Filsafat Ibnu Bajjah banyak terpengaruh oleh pemikiran Islam dari kawasan di timur, seperti al-Faraby dan Ibnu Sina. Hal ini disebabkan kawasan islam di timur lebih dahulu melakukan penelitian ilmiah dan kajian filsafat dari kwasan islam di barat (Andalus). Untuk lebih jelasnya, di bawah ini akan menelusuri pemikiran filsafatnya.
1.      Metafisika (Ketuhanan)
Menurut Ibnu Bajjah, segala yang ada (al-maujudat) terbagi menjadi dua: yang bergerak dan yang tidak bergerak. Yang bergerak adalah jisim (materi) yang sifatnya finite (terbatas). Gerak terjadi dari perbuatan yang menggerakkan terhadap yang digerakkan. Gerakan ini digerakkan pula oleh gerakan yang lain, yangakhir rentetan gerakan ini digerakkan oleh penggerak yang tidak bergerak, dalam arti penggerak yang tidak berubah yang berbeda dengan jisim (materi). Gerak jisim mustahil timbul dari substansinya sendiri sebab ia terbatas. Oleh karena itu, gerakan ini mesti berasal dari gerakan yang infinite (tidak terbatas), yang oleh Ibnu Bajjah disebut dengan akal.
Kesimpulannya, gerakan alam ini jisim yang terbatas digerakkan oleh akal (bukan berasal dari substansi alam sendiri). Sedangkan yang tidak bergerak ialah akal, ia menggerakkan akal dan ia sendiri tidak bergerak. Akal inilah yang disebut dengan Allah (’aqlu ’aqil dan ma’qul); sebagaimana yang dikemukakan oleh al-Faraby dan Ibnu Sina sebelumnya.
2.      Materi dan Bentuk
Menurut pandangan Ibnu Bajjah, materi (al-Hayula) tidak mungkin bereksistensi tanpa bentuk (al-Shurat). Sementara itu, bentuk bisa bereksistensi dengan sendirinya tanpa materi. Jika tidak, secara pasti kita tidak mungkin dapat menggambarkan adanya modifikasi (perubahan-perubahan) pada benda. Perubahan-perubahan tersebut adalah suatu kemungkinan dan inilah yang dimaksud dengan pengertian bentuk materi.
Pandangan Ibnu Bajjah ini diwarnai oleh pemikiran Aristoteles dan Plato. Menurut Aristoteles, materi adalah sesuatu yang menerima bentuk yang bersifat potensialitas dan dapat berubah sesuai bentuk. Sementara menurut pandangan Plato, bentuk adalah nyata dan tidak membutuhkan sesuatu pun untuk bereksistensi. Bentuk, menurut Plato, terdapat diluar benda. Bentuk yang dimaksud Ibnu Bajjah mencakup arti jiwa, daya, makna, dan konsep. Bentuk hannya dapat ditangkap dengan akal dan tidak dapat ditangkap oleh panca indera. Bentuk pertama, menurut Ibnu Bajjah, merupakan suatu bentuk abstrak yang bereksistensi dalam materi, yang dikatakannya sebagai tidak mempunyai bentuk.
3.      Jiwa
Menurut pendapat Ibnu Bajjah, setiap manusia mempunyai satu jiwa. Jiwa ini tidak mengalami perubahan sebagaimana jasmani. Jiwa adalah penggerak bagi manusia. Jiwa digerakkan dengan dua jenis alat: alat-alat jasmaniah dan alat-alat rohaniah. Alat-alat jasmaniah diantaranya ada berupa buatan dan ada pula yang berupa alamiah, seperti kaki dan tangan. Alat-alat alamiah ini lebih dahulu dari alat buatan, yang disebut juga oleh Ibnu Bajjah dengan pendorong naluri (al-Harr al-gharizi) atau roh insting. Ia terdapat pada setiap makhluk yang berdarah.
Jiwa, menurut Ibnu Bajjah, adalah jauhar rohani, akan kekal setelah mati. Di akherat jiwalah yang akan menerima pembalasan, baik balasan kesenangan (surga) maupun balasan siksaan (neraka). Akal, daya berfikir bagi jiwa, adalah satu bagi setiap orang yang berakal. Ia dapat bersatu dengan akal fa’al yang diatasnya dengan jalan ma’rifah filsafat.
4.      Akal dan Ma’rifah
Ibnu Bajjah menempatkan akal dalam posisi yang sangat penting. Dengan perantaraan akal, manusia dapat mengetahui segala sesuatu, termasuk dalam mencapai kebahagiaan dan masalah Ilahiyat. Oleh karena itu pengetahuan yang diperoleh akal ada dua jenis pula: yang dapat tetapi tidak dapat dihayati, yang dapat dipahami dan dapat pula dihayati.
Berbeda dengan Al-Ghazali, menurut Ibnu Bajjah manusia dapat mencapai puncak ma’rifah dengan akal semata bukan dengan jalan sufi melalui al-qalb. Manusia kata Ibnu bajjah, setelah bersih dari sifat kerendahan dan keburuka masyarakat akan dapat bersatu dengan akal aktif dan ketika itulah ia akan memperoleh puncak ma’rifah karena limpahan dari Allah.
5.      Akhlak
Ibnu Bajjah membagi perbuatan manusia menjadi perbuatan hewani dan manusiawi. Perbuatan didasarkan atas dorongan naluri untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan dan keinginana hawa nafsu. Sementara itu, perbuatan manusiawi adalah perbuatan yang didasarkan atas pertimbangan rasio dan kemauan yang bersih lagi luhur. Sebagai contoh, perbuatan makan bisa dikatagorikan perbuatan hewani dan bisa pula menjadi perbuatan manusiawi. Apabila perbuatan makan tersebut dilakukan untuk keinginan hawa nafsu, perbuatan ini jatuh pada perbuatan hewani. Namun, apabila perbuatan makan dilakukan bertujuan untuk memelihara kehidupan dalam mencapai keutamaan dalam hidup, perbuatan tersebut jatuh pada perbuatan manusiawi. Perbedaan antara kedua ini tergantung pada motivasi pelakunya, bukan pada perbuatannya. Perbuatan yang bermotifkan hawa nafsu tergolong pada jenis perbuatan hewani dan perbuatan bermotifkan rasio (akal) maka dinamakan perbuatan manusiawi.
Pandangan Ibnu Bajjah diatas sejalan dengan ajaran islam, yang juga mendasarkan perbuatan pada motivasi pelakunya. Lebih lanjut ia menjelaskan bahwa manusia yang mendasarkan perbuatannya atas iradah yang merdeka dan akal budi akan dapat mencapai kebahagiaan.
6.      Politik
Pandangan politik Ibnu Bajjah dipengaruhi oleh pandangan politik Al-Farabi. Sebagaimana Al-Farabi, dalam buku Ara’ Ahl al-Madinat al-Fadhilat, ia (Ibnu Bajjah) juga memebagi negara menjadi negara utama (al-Madinat al-Fadhilat) atau sempurna dan negara yang tidak sempurna, seperti negara jahilah, fasiqah, dan lainnya.
Demikian juga tentang hal-hal yang lain, seperti persyaratan kepala negara dan tugas-tugasnya selain pengatur negara, juga pengajar dan pendidik. Pendapat Ibnu Bajjh sejalan dengan Al-Farabi. Perbedaanyya hanya terletak pada penekanannya. Al-Farabi titik tekannya pada kepala negara, sedangkan Ibnu Bajjah titik tekannya pada warga negara (masyarakat).
Berbeda dengan AL-Farabi, dalam konsep politiknya Ibnu Bajjah menambahkan adanya diantara masyarakat yang mutawahhid, yaitu uzlah falsafi yang berbeda dengan uzlah tasawuf Al-Ghazali.
7.      Tasawuf (manusia Penyendiri)
Renan berpendapat bahwa Ibnu Bajjah memiliki kecenderungan kepada tasawuf, tapi tentu salah ketika dia menganggap bahwa Ibnu Bajjah menyerang al-Ghozali karena ia menandaskan intuisi dan tasawuf. Sesungguhnya, Ibnu Bajjah mengagumi al-Ghozali dan menyatakan bahwa metode al-Ghozali memampukan orang memperoleh pengetahuan tentang Tuhan, dan bahwa metode ini didasarkan pada ajaran-ajaran nabi suci. Sang sufi menerima cahaya di dalam hatinya. Cahaya di dalam hatinya ini merupakan suatu spekulasi, yang lewat spekulasi itu hati melihat hal-hal yang dapat dipahami seperti orang melihat obyek yang tertimpa sinar matahari lewat penglihatan mata, dan lewat pemahaman hal-hal yang dapat dipahami ini dia melihat semua yang melalui implikasi mendahului mereka atau menggantikan mereka.

D.    Tadbir al-Mutawahhid
Ibnu Bajjah menjelaskan tentang tadbir, bahwa kata ini mencakup pengertian umum dan khusus. Tadbir dalam pengertian umum, seperti disebutkan diatas, adalah segala bentuk perbuatan manusia. Sementara itu, tadbir dalam pengertian khusus adalah pengaturan negara dalam mencapai tujuan tertentu, yakni kebahagiaa. Pada pihak lain, filosof pertama Spanyol ini menghubungkan istilah tadbir kepada Allah SWT. Karena Allah SWT Maha Pengtur, yang disebut al-Mutadabbir. Ia telah mengatur alam sedemikian rapi dan teratur tanpa cacat. Pemakaian kata ini kepada Allah hanya untuk penyerupaan semata. Akan tetapi, pendapat Ibnu Bajjah ini memang ada benarnya. Tadbir yang akan dilaksanakan manusia mestinya mencontoh tadbir Allah SWT. terhadap alam semesta. Selain itu, tadbir hanya dapat dilaksanakan berdasarkan akal dan ikhtiar. Pengertian ini tercakup manusia memilki akal dan Allah yang dalam filsafat disebut dengan akal.
Berhubungan dengan orang lain tidak mungkin sebab dikhawatirkan akan terpengaruh oleh perbuatan yang tidak baik. Sementara itu, al-mutawahhid yang dimaksud Ibnu Bajjah ialah seorang filosof atau beberapa orang filosof hidup menyendiri pada salah satu negara dari negara yang tidak sempurna, seperti negara Fasiqah, Jahilah, Berubah dan lain-lainnya. Apabila tidak demikian, tidak mungkin baginya untuk mencapai kebahagiaan. Pada pihak lain, sebagaimana tadbir al-mutawahhid juga dikaitkan kepada Allah, al-Wahid, al-Ahad (Yang Satu, Yang Esa) Allah adalah jauhar yang bersifat dengan sifat ahad (Esa) dan tidak satupun yang dapat dilestarikan dengann-Nya (kufuan ahad). Dari uraian ini dapat dilihat bahwa seolah-olah filosof pertama Spanyol ini mensinyalkan bahwa manusia harus meniru sifat ahad Allah. Dengan sifat seperti inilah manusia tidak terpengaruh dari perbuatan-perbuatan buruk masyarakat dan ia akan dapat mencapai kebahagiaan.20[18]











BAB III
PENUTUP

A.       Kesimpulan
Dari uraian dan pembahasan di atas dapat disimpulkan sebagai berikut:
1. Ibnu Thufail dilahirkan di Guadix (Arab : Wadi Asy), provinsi Granada, Spanyol pada tahun 506 H/1110 M. dalam bahasa latin Ibnu Thufail populer dengan sebutan Abubacer.
2. Karya Ibnu Thufail yang terkenal adalah sebuah buku filsafat yang berjudul Hayy Ibnu Yagzan (“kehidupan anak kesadaran”).
3.  Ajaran Filsafat Ibnu Thufail meliputi tentang Dunia, tentang Tuhan, tentang kosmologi cahaya, dan tentang epistimologi pengetahuan dan etika/akhlak.
Berkaitan dengan teori al-ittishal tersebut, Ibnu Bajjah juga mengajukan satu bentuk epistemology yang berbeda dengan corak yang dikemukakan oleh al-Ghazali di dunia islam timur.
Tadbir al-Muwahhid ini berisikan delapan pasal, yaitu:
1.  Penjelasan mengenai kata tadbir
2.  Penjelasan tentang perbuatan-perbuatan yang bersifat kemanusiaan
3.  Penjelasan yang berhubungan dengan perbuatan-perbuatan menyendiri
4.  Mengenai pembagian perbuatan manusia ang menjadi tiga macam
5.  Seorang Mutawahhid (penyendiri) harus memilih tingkatan perbuatan yang paling tinggi
6.  Dan kembali memperpangjang bentuk-bentuk rohaniah dan perbuatan-perbuatan yang
      bertalian dengannya
7.  Menjelaskan apa yang dimaksud dengan tujuan akhir

B.       Saran
Dari beberapa Uraian diatas jelas banyaklah kesalahan serta kekeliruan, baik disengaja maupun tidak, dari itu kami harapkan kritik dan sarannya untuk memperbaiki segala keterbatasan yang kami punya, sebab manusia adalah tempatnya salah dan lupa.


DAFTAR PUSTAKA

Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemah, Surabaya: UD. Mekar, 2000.
http://bataviase.co.id/detailberita-10495945.html
http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html
http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
Musthofa. Filsafat Islam, Bandung: SV Pustaka Setia, 2004
Hanafi. Pengantar Filsafat Islam, Jakarta, 1969
Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997.
Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007.
Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004.
Thufail, Ibnu, Hayy Ibn Yaqzhan Roman Filsafat tentang Perjumpaan Nalar dengan Tuhan. Diterjemahkan oleh: Dahyal Afkal, Bekasi: Menara, 2006.




[1]  Sirajuddin. Zar, Filsafat Islam. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada. 2007. h. 205
[2]  Ibid, hal. 206
[3]  Mustofa, Filsafat Islam, Bandung: CV. Pustaka Setia, 1997, h. 272
[4]  http://islamic-oase.blogspot.com/2008/11/ibn-tofail-ilmuwan-andalusia-pelopor.html 
[5]  Ibid
[6]  http://hadirukiyah.blogspot.com/2009/08/otobiografi-ibnu-tufail.html
[7]  Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), hal. 275
[8]  Ibid
[9]  Ibid, hal. 276
[10]  Ibid, hal. 277
[11] Sudarsono, Filsafat Islam, Jakarta: Rineka Cipta, 2004, h. 81
[12]  Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 277
[13]  Ibid, hal. 278
[14]  Ibid
[15]  Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279
[16]  Mustofa,H.A, Filsafat Islam, (Bandung: Pustaka Setia,1997), 279-280
17 Ibid, 289
19 Ibid, 290
20 Ibid, Hal 290

Tidak ada komentar:

Posting Komentar