BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang Masalah
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya,
manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah
ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya.
Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman
penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya
untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas)
itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan.
Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara
mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;
1. disusun
metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu
dari kenyataan (realitas), dan yang
2. dapat digunakan
untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang
khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu
tentang seluruh kenyataan (realitas).
B. Klasifikasi Filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan
pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya
sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi
filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut
daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi
menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama.
Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan
“Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi:
“Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.
BAB II
PEMBAHASAN
1.
FILSAFAT ISLAM
DI DUNIA TIMUR
Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah
problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat”
adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia
secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang
abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat
itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat
tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan
metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen
dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis,
mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk
solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah
proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah
bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan
logika bahasa.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam
terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini.
Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof
Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine
(354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 –
524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar
filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah
diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan
Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya,
karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories
dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi
mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang
oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan
Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa,
maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak
akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari
terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
A. Al-Kindi
Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku
yang menjadi asal cikal-bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah
suku keturunan Kindah yang sejak dahulu menempati daerah selatan Jazirah Arab
yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak
dikagumi orang.
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qup
bin Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Isma’il bin
Al Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun
185 H (801 M). Ayahnya, Ishaq Ash-Shabbah adalah Gubernur Kuffah pada masa
pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani ‘Abbas. Ayahnya meninggal
beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian Al-Kandi dibesarkan
dalam keadaan yatim.[1]
Karangan-karangan Al-Kindi mengenai
filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan
batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu
filsafat. Masalah-masalah filsafat yang ia bahas mencakup epistimologi,
metafisika, etika, dan sebagainya. Sebagaimana halnya para penganut aliran
Phythagoras, Al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa
berfilsafat dengan baik.
Dari karangan-karangannya dapat
diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran eklektisisme;[2] dalam metafisika dan
psikologi ia mengambil pendapat Plato; dalam bidang etika ia mengambil
pendapat-pendapat Socrates dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian Al-Kandi
sebagai filsafat Muslim tetap bertahan.
Di sini al-Kindi - seperti halnya dalam
problematika-problematika lain - meletakkan batu pertama dalam rangka
menjelaskan kebebasan kehendak secara filosofisnya. Untuk itu ia menganalisa
bahwa aksi hakiki adalah sesuatu (perbuatan) yang merupakan buah dari niat dan
kehendak dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang
digerakkan oleh getaran-getaran hati.[3] Ia berani menngatakan teori tawallud yang dikemukakan
oleh Mu’tazilah. Menurutnya, sebab ada dua: dekat yang merupakan sebab
langsung dan jauh yang merupakan sebab tidak langsung. Ia mendukung
teori perhatian Tuhan yang konsekuensinya menundukkan alam kepada hukum-hukum
yang tetap. Sumber-sumbernya yang sampai kepada kita hanya sampai di sini, yang
karenanya tidak membicarakan manusia dengan sistem alam atau kehendak Allah.
Ini adalah apa yang akan dikaji oleh para penggantinya yang datang sesudahnya.
Sebagai seorang pelopor yang dengan
sadar berusaha mempertemukan agama dengan filsafat Yunani, Al-Kindi mengatakan
bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang tertinggi martabatnya, dan
filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk memiliki
filsafat itu. Pernyataan ini terutama tertuju kepada ahli-ahli agama yang
mengingkari filsafat dengan dalih sebagai ilmu syirik, jalan menuju kekafiran
dan keluar dari agama.[4] Al-Kindi sendiri
sebagai filosof Muslim tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan dengan
pendapat filosof yang dianutnya. Misalnya dalam menyeberangkan pendapat dengan
Aristoteles bahwa alam itu abadi. Ia tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa
alam adalah ciptaan Allah, diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi
tiada pula.
Dengan demikian, bagi Al-Kindi,
berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan mengorbankan keyakinan agama,
seperti yang sering dituduhkan orang kepadanya. Filsafat sejalan dan dapat
mengabdi kepada agama, walaupun beliau mendefinisikan filsafat itu sendiri
masih terikat dengan filsafat terdahulu. Dan dari beragam definisi, tampaknya
Al-Kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir yaitu; filsafat
adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh
(umum),[5] baik
esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut
pandang materinya. Menurut Al-Kindi, filosof adalah seorang yang berupaya
memperoleh kebenaran dan hidup mengalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu
orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan
demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran,
tetapi disamping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran
itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep Al-Kindi tentang
filsafat merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran Stoa. Tujuan
terakhir adalah dalam hubungannya dengan moralitas.
B. Al-Farabi
al-Farabi mempunyai nama lain Abu Nashr
Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi. Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama
kota Farab, tempat ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab
pada tahun 257 H (870 M). Kadang-kadang ia mendapat sebutan orang Turki, sebab
ayah Al-Farabi sebagai seorang Iran menikah dengan wanita Turki. Sepertinya
nama sebutan orang Turki kepadanya karena ibunya berasal dari negara Turki.
Kepribadian Al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar. Dalam berolah
kata, tutur bahasa, ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap
bahasa Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat ia pahami. Justru bahasa Yunani dan
Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu, Al-Farabi belum bisa
menguasai.
Pada tahun 350 H (941 M) Al-Farabi
pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini, kedudukan Al-Farabi sangat
diperhatikan secara layak oleh Saif Al-Dullah, khalifah dinasti Al-Hamdan di
Allepo (Halab). Sampai wafat Al-Farabi dengan usia 80 tahunSebagai contoh
ulasan Al-Farabi; terhadap karya Aristoteles adalah masalah Burhan
(dalil), Ibarat (keterangan), Khotibah (cara berpidato), al
Jadal (argumen/berdebat), Qiyas (analogi), Mantiq (logika),
adapun ulasan ia terhadap karya Plotenus adalah kitab Al Majesti fi-Ihnil
Falaq, juga terhadap karya Iskandar Al Fraudismy tentang Makalah
fin-nafsi.
Karya-karya nyata dari Al-Farabi
adalah:
1. Al Jami’u Baina
Ra’yai Al Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails
(pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles);
2. Tahsilu as
Sa’adah (mencari kebahagiaan);
3. As Suyasatu Al
Madinah (politik pemerintahan);
4. Fususu Al Taram (hakikat
kebenaran);
5. Arroo’u Ahli Al
Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan);
6. As Syiyasyah (ilmu politik)
7. Fi Ma’ani Al
Aqli;
8. Ihsho’u Al Ulum
(kumpulan berbagai ilmu);
9. At Tangibu ‘ala
As Sa’adah;
10. Isbatu Al
Mufaraqat;
Yaitu ilmu yang meneliti tentang
jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum volisional, bakat, moral, tabiat nilai
tempat lahirnya perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum ini. Sebab, moral dan
politik menurut Al-Farabi berhubungan erat, karena Madinah fadilah (kota
ideal) mirip sekali dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang masing-masing
anggotanya saling membantu.[7]
Ketika Al-Farabi menyusun konsep
tentang akal itu esa adanya, bahwa akal hanya berisi satu pikiran yang
memikirkan akan dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan adalah ‘aqil (berpikir)
dan ma’qul (dipikirkan), melalui Ta’aqul, Tuhan dapat mulai
ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau
akal baru yang disebut oleh Al-Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal
(akal yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama yang Ta’aqqul tentang
pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan Ta’aqqul Tuhan melimpah ke Al
Aqlis Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al falakul Aqsha
(langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al
Aqlits Tsani, menimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama
timbulnya Karatul Kawakibits tsabitah, langit bintang-bintang tetap,
kemudian akal ketiga melimpah ke Al Aqlur Rabi’ (akal keempat) yang
menimbulkan langit bintang zuhal (Saturnus), kemudian melimpah ke Al Aqlul
Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit bintang Musytari (Yupiter),
lalu ke Al Aqlu Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris (Mars),
selanjutnya Al Aqlust Tsabi’ (akal ketujuh) dengan munculnya langit
matahari, Al Aqlusts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit bintang
zuhrah (Venus), Al Aqlut Tasi’ (akal kesembilan) dengan langit bintang
‘Utharid (Markurius), akhirnya, Al Aqlul Asyir bersama dengan langit
bulan. Adapun Al Aqlul Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul
Fa’al (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect.[8]
Persoalan yang muncul adalah bagaimana
hubungan Al Aqlul Fa’al dengan isi bumi baik manusia, hewan dan
tumbuh-tumbuhan?. Al-Farabi menjawab dengan kembali kepada teori Aristoteles.
Al-Farabi membedakan zat (materi) dan bentuk (surah), bahwa materi merupakan
kemungkinan belaka, namun bentuk dapat menentukan kemungkinan tersebut. Sebagai
contoh, kayu sebagai materi banyak mengandung kemungkinan, bisa menjadi kursi,
lemari, meja dan sebagainya. Kemungkinan baru tersebut dapat terlaksana menjadi
realitas apabila diberi bentuk, semisal bentuk lemari, kursi, meja, kotak, dan
lain sebagainya.
C. Ibnu
Maskawaih
Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim
yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun disiplin ilmu yang
dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan.
Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk filsafat
Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali
Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur
adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang
semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali,
yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang
berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam
sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa
Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain juga sering disebutkan,
yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan
Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai
bendaharawannya.[9]
Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran
sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkannya
berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul Aziz Izzat
menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421 H/16
Pebruari 1030 M.
Riwayat pendidikan Maskawaih tidak
diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para
penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar
belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak
berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan
gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak
bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar
bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat
sya’ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau;
di kalangan keluarga yang berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk
memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu
diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits,
sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu
diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan
furusiah (semacam ilmu kemiliteran).[10]
Diduga Maskawaih pun mengalami
pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga
Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang
kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran
lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh
dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh
kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga
akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat
terekam oleh para penulis (sejarahwan) di antaranya adalah sebagai berikut:
1.
Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang
Ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika);
2.
Kitab Al-Fauz Al-Akabr, tentang
etika;
3.
Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang
etika;
4.
Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir
Al-‘Araq, tentang etika;
5.
Kitab Tartib As-Sa’adat, tentang
etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani ‘Abbas dan Banu Buwaih;
6.
Kitab Tajarib Al-Umam, tentang
sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh
hingga tahun 369 H;
7.
Kitab Al-Jami’, tentang
ketabiban;
8.
Kitab Al-Adwiyah, tentang
obat-obatan;
9.
Kitab Al-Asyribah, tentang
minuman;
10.
Kitab Al-Mustaudi, berisi
kumpulan syair-syair pilihan;
11.
Kitab Maqalat fi Al-Nafsi wa Al-‘Aql,
tentang jiwa dan akal;
12.
Kitab Jawizan Khard (Akal
Abadi), yang membicarakan panjang lebar tentang pemerintahan dan hukum yang
berlaku di Arab, Persia, India, dan Romawi.[11]
Pemikiran filsafat Maskawaih, ia
membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat).
Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu
membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui
segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau dapat
kau katakan bahwa hikmah adalah “bahwa engkau mengetahui perkara-perkara
Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari
pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat
membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”.[12]
D. Ibnu
Sina
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali
Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna.
Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 340 H / 980
M. Kelahiran beliau ditengah masa yang sedang kacau, di masa kekuasaan
‘Abassiyah mulai mundur dan negeri-negeri semulanya dibawah kekuasaan
‘Abbasiyah sehingga melepaskan diri dan berdiri sendiri. Termasuk kota Baghdad
sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh goongan Banu Buwaih pada tahun 334
H hingga tahun 447 H.
Ibnu Sina dibesarkan di daerah
kelahirannya. Ia belajar Al-Qur’an dengan menghafalnya dan belajar ilmu-ilmu
agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti: astronomi, matematika, fisika,
logika, kedokteran, dan ilmu metafisika.
Ketika umur beliau belum mencapai 16
tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang yang datang
kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya dalam teori saja, melainkan
segi praktikpun ia menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur, penguasa Bukhara
menderita sakit, dan kebanyakan dokter
tidak mampu mengobati, maka setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina,
Khalifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah ia mendapat sambutan yang baik sekali
dari masyarakat.
Pada waktu usianya mencapai 22 tahun,
ayahnya meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan negeri Bukhara untuk menuju
ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan
mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama tinggal di situ.
Hidupnya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, hingga sampai di
Hamadan. Di tempat ini beliau dijadikan menteri oleh Syamsuddaulah untuk
beberapa kali, meskipun di sini ia pernah dipenjarakan beberapa bulan. Kemudian
ia pergi ke Isfahan, di bawah penguasa Ala Addaulah, ia kembali ke Hamadan,
ketika Ala Addaulah merebut negeri Hamadan. Ia meninggal pada tahun 428 H/1037
M pada usia 57 tahun.
Ibnu Sina meskipun disibukkan oleh
kegiatan politik namun karena kecerdasan yang dimilikinya, menyebabkan ia mampu
menulis beberapa buku. Karena ia pandai mengatur waktu dalam aktivitas politik,
mengajar, dan mengarang. Dalam tulis menulis tidak kurang dari 50 lembar karya
yang dapat disajikan. Ia sangat berjasa bagi pera ilmuwan, dengan karya-karya
yang berguna.
Adapun karangan-karangan Ibnu Sina yang
terkenal adalah:
1.
As-Syifa’, buku ini
adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, dan terdiri dari 4 bagian,
yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut
mempunyai beberapa naskah yang terbesar di berbagai perpustakaan barat dan
timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di
Taheran. Pada tahun 1956 Lembaga Keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan
pasal keenam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan
terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di
Kairo pada tahun 1954, dengan nama Al-Burhan, di bawah asuhan Dr.
Abdurrahman Badawi.
2.
An-Najat, buku ini
merupakan ringkasan buku As-Shafa’, dan pernah diterbitkan bersama-sama
dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan
pada tahun 1331 H di Mesir.
3.
Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini
adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden
pada tahun 1892, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis.
Kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1974 di bawah asuhan Dr. Sulaiman
Dunia.
4.
Al-Hikmat Al-Masyiriqiyyah, buku ini
banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan
naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa
isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi
filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5.
Al-Qanun, atau Canon of
Medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan
ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk
universitas-universitas Eropa, sampai akhir abad ke 17 M. Buku tersebut pernah
diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan di India tahun 1323 H.
E. Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin
Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali. Beliau dilahirkan di
Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. Ayahnya seorang pekerja pembuat
pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, Al
Ghazali diasuh oleh seorang ahli tasawuf.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu
fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian
belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajari
beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada
ImamAl Haromain. Di sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya
yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa
itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena
kecerdasannya itulah Imam Al Haromain mengatakan bahwa Al Ghazali itu adalah “lautan
tak bertepi....”.
Setelah Imam Al Haromain wafat, Al
Ghazali pergi ke Al Ashar untuk berkunjung kepada Menteri Nizam al Muluk
dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai
seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan para
ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al Ghazali.
Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik Al Ghazali pada tahun 484
H/1091 M sebagai guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah
yang berada di kota Baghdad. Al Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi
selama 4 tahun. Di sini ia beribadat di masjid Al Umawi pada suatu sudut
hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah. Pada saat
itulah ia sampai mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat
terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Al Ghazali tinggal di Damaskus itu kurang
lebih selama 10 tahun, dimana ia hidup dengan amat sederhana, berpakaian
seadanya, menyedikitkan makan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak
ibadah dan berbuat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan
berkhalawat.[13]
Ia menetapkan bahwa tujuannya adalah
membentengi aqidah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan menjaganya dari gangguan ahli
bid’ah. Itu adalah ilmu yang memadai dengan tujuannya walaupun tidak memadai
dengan maksud Al-Ghazali sendiri.[14]
Adapun penyerangan dari kalangan fuqaha
dan tasawuf (Ibnu Rusyd) adalah disebabkan sikap Al-Ghazali yang menantang para
filosuf Islam, bahkan ia sampai mengafirkan dalam tiga hal yaitu:
1)
Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
2)
Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja, dan
3)
Ada kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.
Penyerangan termuat dalam kitabnya yang
terkenal yaitu Tahafut Al Falasifah dan Al Munqidz min Ad Dhalal, akan
tetapi dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan Al Amal dikatakan bahwa
ketiga-tiganya persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga.
Juga dalam bukunya Al Madhnun ‘ala Ghairi Alhlihi, ia mengakui qadimnya
alam. Kemudian dalam Al Munqidz min
Ad Dhalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan
orang-orang tasawuf.
Tafsiran para pembahas disini
berbeda-beda. Menurut Ibnu Tufail, perlawanan terseubut memang suatu
kontradiksi benar-benar dari pemikiran Al Ghazali. Menurut Ibnu Salah, karena
Al-Ghazali dari aliran ahlussunnah, maka pikiran-pikiran daribukunya yang
berlawanan dengan aliran ini dianggap bukan dari Al-Ghazali, seperti buku Al
Madhnun ‘ala Ghairi Ahlihi.
Menurut Dr. Zaki Mubarrak dalam bukunya
Al Akhlaqin Al-Ghazali, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena
perkembangan pikiran Al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa, kemudian
menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru yang tenar.
Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dan menguasai dan menyingkap bermacam-macam
pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan
pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.
Namun demikian Dr. Sulaiman Dunia,
mempunyai penafsiran lain. Ia mengatakan bahwa semuabuku-buku Al-Ghazali masih
dipeganginya terus sampai akhir hayatnya. Tetapi harus diingat, ada buku-buku
yang ditujukan kepada orang biasa (awam) dan ada pula yang khusus ditujukan
kepada orang-orang tertentu sekali, dan oleh karena itu sudah barang tentu
isinya tidak akan sama.
BAB III
P E N U T U P
A. Kesimpulan
Setelah kita mentelaah dan mencermati uraian
pemikiran-pemikiran para filosuf Islam di dunia timur, maka dapatlah penulis
menarik kesimpulan sebagai berikut :
Al-Kindi adalah filosuf Islam yang mula-mula
secara sadar berupaya mempertemukan ajaran-ajaran Islam dengan filsfat Yunani.
Sebagai seorang filosuf, Al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk
memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang
sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis.
Oleh karenanya menurut Al-Kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal
di luar jangkauan akal manusia yang yang diperoleh dari wahyu Tuhan.
Al-Farabi ia lebih banyak menggeluti masalah
moral, politik dan psikologi dibandingakan Al-Kindi. Ia menghadapi secara tegas
problematika qada dan qadar. Ia mengetahui tingkah laku individu disamping
serius mengatur urusan-urusan kemasyarakatan. Nampaknya ia merupakan kaum paripatetik
Arab yang paling serius mendalami sosiologi. Ia memfokuskan diri pada
kebahagiaan, yang menurutnya merupakan tujuan tertinggi yang didambakan manusia
yang bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji melalui
kehendak dan pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa melakukan kebaikan
dan meraih kebahagiaan jika hal itu dikehendakinya. Sebab, menurutnya kehendak
merupakan sendi moral sekaligus sebagai sendi politik---begitu menurut istilah
dia---juga ilmu madani. Yaitu ilmu yang meneliti tentang jenis-jenis perbuatan
dan hukum-hukum yang berlaku. Sebab moral
dan politik menurut beliau berhubungan erat. Karena Madinah fadilah
(kota ideal) mirip sekali dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang
masing-masing anggotanya saling membantu.
Ibnu Maskawaih adalah filosuf
Islam dalam. Tetapi kefilosufannya itu tidak ia raih melalui jalur pendidikan
formal, melainkan dengan otodidak. Dialah contoh seorang otodidak sukses dan
sejati. Dan perlu dicatat di sini bahwa pengaruh filsafat Yunani sangat besar
merasuk dalam pikirannya sehingga terkesan menomorduakan ajaran-ajaran Islam.
Filsafat Yunani mendapat porsi yang lebih besar dibandingan porsi agama.
Misalnya ketika menyebut tentang keutamaan-keutamaan moral, bukannya
menonjolkan nilai-nilai akhlak Islam tetapi justru mengadopsi konsep Plato,
Aristoteles, dan Galen.
Ibnu Sina, karyanya memberikan kesan bahwa
problematika qada dan qadar membara di zamannya. Anggapan terkuat menyatakan
bahwa majlis-majlis kaum Isma’iliyah dan propagandis Fatimi tidak kehilangan
kesempatan untuk membicarakan masalah ini sebagai pendukung atau penentang.
Sebagai bukti ialah bahwa Syeikh al-Ra’is (gelar Ibnu Sina)
mengantisipasi masalah ini tidak hanya sekali. Mengenai masalah ini, ia menulis
sejumlah risalah. Nampak kegoncangan yang menimpa hidupnya maupun penjara dan
hukum buang yang dialaminya, ada kaitannya dengan pemecahan topik dimaksud.
Al-Ghazali memiliki pemikiran berisi tiga
persoalan filsafat yaitu ilmu mantq, metafiska dan fisika yang diuraikan dengan
sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf yang menulis tentang
kefilsafatan dalam karyanya Maqashid Al Falasifah, sesudah itu ia
menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana ia bertindak bukan
sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak
mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya serta
kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan agama.
Tetapi ilmu dimaksud menimbulkan 2 keberatan: (1) Karena keberatan dan
ketelitian ilmu-ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang mengira bahwa
semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya, sampaipun dalam lapangan
ketuhanan; (2) Sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu
menduga bahwa untuk menegakkan agama, harus mengingkari semua ilmu yang berasal
dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua, sehingga
pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap
berlawanan dengan syara’.
B. Sumbang
Saran
Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia
Islam bisa dikatakan telah usai dan berpindah ke Eropa, peradaban Islam pun
mengalami kemunduran sementara di Eropa sendiri mengalami masa yang disebut
sebagai abad Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar abad ke-15 M. Tapi
tidak demikian halnya dalam komunitas gereja. Adapun para filsuf zaman modern
setelah masa Aufklarung, abad ke-17 M, menegaskan bahwa pengetahuan tidak
berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi
dari diri manusia sendiri. Para filosuf modern yang tercatat dalam sejarah
ialah Descartes, Karl Marx, Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.
DAFTAR PUSTAKA
Madkour Ibr Fi al-Falsafah al-Islamiyyah
(diterjemahkan dengan judul Aliran dan Teori Filsafat Islam, oleh Yudian
Wahyudi Asmin), PT Bumi Aksara, Jakaarta, 2009.
Mustofa, H.A, Filsafat Islam, Cet V, CV
Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Wiramihardj Pengantar
Filsafat (Sistematika
Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistimologi), Metafisika dan Filsafat
Manusia, Aksiologi), Cet II, PT Refika Aditama, Bandung, 2007.
Hanafi Ahmad, Pengantar Filsafat Islam, Cet 5,
Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
Manusia,
Filsafat, dan Sejarah, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2006.
Qadir, C.A, Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam
Islam (penerjemah Hasan Basari; dengan judul asli: Philosophy and
Science in the Islamic World, 1988), Yayasan Obor, 1989.
[14] Ibrahim
Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah (Penerjemah, Yudian Wahyudi Asmin:
Aliran dan Teori Filsafat Islam), PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm,
74
Tidak ada komentar:
Posting Komentar