Jumat, 17 Oktober 2014

Filsafat Islam Di Dunia Timur



BAB  I
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang Masalah
Dalam menghadapi seluruh kenyataan dalam hidupnya, manusia senatiasa terkagum atas apa yang dilihatnya. Manusia ragu-ragu apakah ia tidak ditipu oleh panca-inderanya, dan mulai menyadari keterbatasannya. Dalam situasi itu banyak yang berpaling kepada agama atau kepercayaan Ilahiah.
Tetapi sudah sejak awal sejarah, ternyata sikap iman penuh taqwa itu tidak menahan manusia menggunakan akal budi dan fikirannya untuk mencari tahu apa sebenarnya yang ada dibalik segala kenyataan (realitas) itu. Proses itu mencari tahu itu menghasilkan kesadaran, yang disebut pencerahan. Jika proses itu memiliki ciri-ciri metodis, sistematis dan koheren, dan cara mendapatkannya dapat dipertanggung-jawabkan, maka lahirlah ilmu pengetahuan.
Ilmu pengetahuan adalah pengetahuan yang;
1.      disusun metodis, sistematis dan koheren (“bertalian”) tentang suatu bidang tertentu dari kenyataan (realitas), dan yang
2.      dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejala tertentu di bidang (pengetahuan) tersebut.
Makin ilmu pengetahuan menggali dan menekuni hal-hal yang khusus dari kenyataan (realitas), makin nyatalah tuntutan untuk mencari tahu tentang seluruh kenyataan (realitas).
B.     Klasifikasi Filsafat
Dalam membangun tradisi filsafat banyak orang mengajukan pertanyaan yang sama, menanggapi, dan meneruskan karya-karya pendahulunya sesuai dengan latar belakang budaya, bahasa, bahkan agama tempat tradisi filsafat itu dibangun. Oleh karena itu, filsafat biasa diklasifikasikan menurut daerah geografis dan latar belakang budayanya. Dewasa ini filsafat biasa dibagi menjadi dua kategori besar menurut wilayah dan menurut latar belakang agama. Menurut wilayah bisa dibagi menjadi: “Filsafat Barat”, “Filsafat Timur”, dan “Filsafat Timur Tengah”. Sementara latar belakang agama dibagi menjadi: “Filsafat Islam”, “Filsafat Budha”, “Filsafat Hindu”, dan “Filsafat Kristen”.

BAB  II
PEMBAHASAN

1.      FILSAFAT ISLAM DI DUNIA TIMUR

Definisi kata filsafat bisa dikatakan sebagai sebuah problem falsafi pula. Tetapi, paling tidak bisa dikatakan bahwa “filsafat” adalah studi yang mempelajari seluruh fenomena kehidupan dan pemikiran manusia secara kritis dan mendasar (radikal).
Kerapkali ilmu filsafat dipandang sebagai ilmu yang abstrak dan berada di awang-awang (tidak mendarat) saja, padahal ilmu filsafat itu dekat dan berada dalam kehidupan kita sehari-hari. Benar, filsafat bersifat tidak konkrit (atau lebih bisa dikatakan tidak tunggal), karena menggunakan metode berpikir sebagai cara pergulatannya dengan realitas hidup kita.
Ini didalami tidak dengan melakukan eksperimen-eksperimen dan percobaan-percobaan, tetapi dengan mengutarakan problem secara persis, mencari solusi untuk itu, memberikan argumentasi dan alasan yang tepat untuk solusi tertentu, serta akhir dari proses-proses itu dimasukkan ke dalam sebuah proses dialektik. Dialektik ini secara singkat bisa dikatakan merupakan sebuah bentuk dialog. Untuk studi falsafi, mutlak diperlukan logika berpikir dan logika bahasa.
Terdapat 2 pendapat mengenai sumbangan peradaban Islam terhadap filsafat dan ilmu pengetahuan, yang terus berkembang hingga saat ini. Pendapat pertama mengatakan bahwa orang Eropa belajar filsafat dari filosof Yunani seperti Aristoteles, melalui kitab-kitab yang disalin oleh St. Agustine (354 – 430 M), yang kemudian diteruskan oleh Anicius Manlius Boethius (480 – 524 M) dan John Scotus. Pendapat kedua menyatakan bahwa orang Eropah belajar filsafat orang-orang Yunani dari buku-buku filasafat Yunani yang telah diterjemahkan ke dalam bahasa Arab oleh filosof Islam seperti Al-Kindi dan Al-Farabi. Terhadap pendapat pertama Hoesin (1961) dengan tegas menolaknya, karena menurutnya salinan buku filsafat Aristoteles seperti Isagoge, Categories dan Porphyry telah dimusnahkan oleh pemerintah Romawi bersamaan dengan eksekusi mati terhadap Boethius, yang dianggap telah menyebarkan ajaran yang dilarang oleh negara. Selanjutnya dikatakan bahwa seandainya kitab-kitab terjemahan Boethius menjadi sumber perkembangan filsafat dan ilmu pengetahuan di Eropa, maka John Salisbury, seorang guru besar filsafat di Universitas Paris, tidak akan menyalin kembali buku Organon karangan Aristoteles dari terjemahan-terjemahan berbahasa Arab, yang telah dikerjakan oleh filosof Islam.
A.  Al-Kindi
Nama Al-Kindi adalah nisbat pada suku yang menjadi asal cikal-bakalnya, yaitu Banu Kindah. Banu Kindah adalah suku keturunan Kindah yang sejak dahulu menempati daerah selatan Jazirah Arab yang tergolong memiliki apresiasi kebudayaan yang cukup tinggi dan banyak dikagumi orang.
Nama lengkap Al-Kindi adalah Abu Yusuf Ya’qup bin Ishaq Ash-Shabbah bin ‘Imran bin Isma’il bin Al Asy’ats bin Qays Al-Kindi. Ia dilahirkan di Kuffah tahun 185 H (801 M). Ayahnya, Ishaq Ash-Shabbah adalah Gubernur Kuffah pada masa pemerintahan Al-Mahdi dan Harun Al-Rasyid dari Bani ‘Abbas. Ayahnya meninggal beberapa tahun setelah Al-Kindi lahir. Dengan demikian Al-Kandi dibesarkan dalam keadaan yatim.[1]
Karangan-karangan Al-Kindi mengenai filsafat menunjukkan ketelitian dan kecermatannya dalam memberikan batasan-batasan makna istilah-istilah yang dipergunakan dalam terminologi ilmu filsafat. Masalah-masalah filsafat yang ia bahas mencakup epistimologi, metafisika, etika, dan sebagainya. Sebagaimana halnya para penganut aliran Phythagoras, Al-Kindi juga mengatakan bahwa dengan matematika orang tidak bisa berfilsafat dengan baik.
Dari karangan-karangannya dapat diketahui bahwa Al-Kindi adalah penganut aliran eklektisisme;[2] dalam metafisika dan psikologi ia mengambil pendapat Plato; dalam bidang etika ia mengambil pendapat-pendapat Socrates dan Plato. Meskipun demikian, kepribadian Al-Kandi sebagai filsafat Muslim tetap bertahan.
Di sini al-Kindi - seperti halnya dalam problematika-problematika lain - meletakkan batu pertama dalam rangka menjelaskan kebebasan kehendak secara filosofisnya. Untuk itu ia menganalisa bahwa aksi hakiki adalah sesuatu (perbuatan) yang merupakan buah dari niat dan kehendak dan bahwa kehendak manusia merupakan potensi psikologis yang digerakkan oleh getaran-getaran hati.[3] Ia berani menngatakan teori tawallud yang dikemukakan oleh Mu’tazilah. Menurutnya, sebab ada dua: dekat yang merupakan sebab langsung dan jauh yang merupakan sebab tidak langsung. Ia mendukung teori perhatian Tuhan yang konsekuensinya menundukkan alam kepada hukum-hukum yang tetap. Sumber-sumbernya yang sampai kepada kita hanya sampai di sini, yang karenanya tidak membicarakan manusia dengan sistem alam atau kehendak Allah. Ini adalah apa yang akan dikaji oleh para penggantinya yang datang sesudahnya.
Sebagai seorang pelopor yang dengan sadar berusaha mempertemukan agama dengan filsafat Yunani, Al-Kindi mengatakan bahwa filsafat adalah semulia-mulia ilmu dan yang tertinggi martabatnya, dan filsafat menjadi kewajiban setiap ahli pikir (ulul albab) untuk memiliki filsafat itu. Pernyataan ini terutama tertuju kepada ahli-ahli agama yang mengingkari filsafat dengan dalih sebagai ilmu syirik, jalan menuju kekafiran dan keluar dari agama.[4] Al-Kindi sendiri sebagai filosof Muslim tidak kehilangan kepribadiannya berhadapan dengan pendapat filosof yang dianutnya. Misalnya dalam menyeberangkan pendapat dengan Aristoteles bahwa alam itu abadi. Ia tetap berpegang kepada keyakinannya bahwa alam adalah ciptaan Allah, diciptakan dari tiada dan akan berakhir menjadi tiada pula.
Dengan demikian, bagi Al-Kindi, berfilsafat tidaklah berakibat mengaburkan dan mengorbankan keyakinan agama, seperti yang sering dituduhkan orang kepadanya. Filsafat sejalan dan dapat mengabdi kepada agama, walaupun beliau mendefinisikan filsafat itu sendiri masih terikat dengan filsafat terdahulu. Dan dari beragam definisi, tampaknya Al-Kindi menjatuhkan pilihannya pada definisi terakhir yaitu; filsafat adalah pengetahuan tentang segala sesuatu yang abadi dan bersifat menyeluruh (umum),[5] baik esensinya maupun kausa-kausanya. Definisi ini menitikberatkan dari sudut pandang materinya. Menurut Al-Kindi, filosof adalah seorang yang berupaya memperoleh kebenaran dan hidup mengalkan kebenaran yang diperolehnya yaitu orang yang hidup menjunjung tinggi nilai keadilan atau hidup adil. Dengan demikian, filsafat yang sebenarnya bukan hanya pengetahuan tentang kebenaran, tetapi disamping itu juga merupakan aktualisasi atau pengamalan dari kebenaran itu. Hal yang disebut terakhir menunjukkan bahwa konsep Al-Kindi tentang filsafat merupakan perpaduan antara konsep Socrates dan aliran Stoa. Tujuan terakhir adalah dalam hubungannya dengan moralitas.

B.  Al-Farabi
al-Farabi mempunyai nama lain Abu Nashr Ibnu Audagh Ibn Thorhan Al-Farabi. Sebenarnya nama Al-Farabi diambil dari nama kota Farab, tempat ia dilahirkan di desa Wasij dalam kota Farab pada tahun 257 H (870 M). Kadang-kadang ia mendapat sebutan orang Turki, sebab ayah Al-Farabi sebagai seorang Iran menikah dengan wanita Turki. Sepertinya nama sebutan orang Turki kepadanya karena ibunya berasal dari negara Turki. Kepribadian Al-Farabi, sejak kecil ia tekun dan rajin belajar. Dalam berolah kata, tutur bahasa, ia mempunyai kecakapan yang luar biasa. Penguasaan terhadap bahasa Iran, Turkistan dan Kurdistan sangat ia pahami. Justru bahasa Yunani dan Suryani sebagai bahasa ilmu pengetahuan pada waktu itu, Al-Farabi belum bisa menguasai.
Pada tahun 350 H (941 M) Al-Farabi pindah ke Damsyik. Ia menetap di kota ini, kedudukan Al-Farabi sangat diperhatikan secara layak oleh Saif Al-Dullah, khalifah dinasti Al-Hamdan di Allepo (Halab). Sampai wafat Al-Farabi dengan usia 80 tahunSebagai contoh ulasan Al-Farabi; terhadap karya Aristoteles adalah masalah Burhan (dalil), Ibarat (keterangan), Khotibah (cara berpidato), al Jadal (argumen/berdebat), Qiyas (analogi), Mantiq (logika), adapun ulasan ia terhadap karya Plotenus adalah kitab Al Majesti fi-Ihnil Falaq, juga terhadap karya Iskandar Al Fraudismy tentang Makalah fin-nafsi.
Karya-karya nyata dari Al-Farabi adalah:
1.      Al Jami’u Baina Ra’yai Al Hakimain Afalatoni Al Hahiy wa Aristho-thails (pertemuan/penggabungan pendapat antara Plato dan Aristoteles);
2.      Tahsilu as Sa’adah (mencari kebahagiaan);
3.      As Suyasatu Al Madinah (politik pemerintahan);
4.      Fususu Al Taram (hakikat kebenaran);
5.      Arroo’u Ahli Al Madinati Al Fadilah (pemikiran-pemikiran utama pemerintahan);
6.      As Syiyasyah (ilmu politik)
7.      Fi Ma’ani Al Aqli;
8.      Ihsho’u Al Ulum (kumpulan berbagai ilmu);
9.      At Tangibu ‘ala As Sa’adah;
10.  Isbatu Al Mufaraqat;
11.  Al Ta’liqat.[6]
Yaitu ilmu yang meneliti tentang jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum volisional, bakat, moral, tabiat nilai tempat lahirnya perbuatan-perbuatan dan hukum-hukum ini. Sebab, moral dan politik menurut Al-Farabi berhubungan erat, karena Madinah fadilah (kota ideal) mirip sekali dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang masing-masing anggotanya saling membantu.[7]
Ketika Al-Farabi menyusun konsep tentang akal itu esa adanya, bahwa akal hanya berisi satu pikiran yang memikirkan akan dirinya sendiri. Jadi akal Tuhan adalah ‘aqil (berpikir) dan ma’qul (dipikirkan), melalui Ta’aqul, Tuhan dapat mulai ciptaan-Nya. Ketika Tuhan mulai memikirkan, timbullah suatu wujud baru atau akal baru yang disebut oleh Al-Farabi dengan sebutan Al Aqlul Awwal (akal yang pertama). Berkelanjutan dari akal pertama yang Ta’aqqul tentang pemikiran Tuhan dan dirinya sendiri. Dengan Ta’aqqul Tuhan melimpah ke Al Aqlis Tsani (akal kedua), yang dapat menimbulkan al falakul Aqsha (langit yang paling luar), maka timbul sifat pluralitas dari alam makhluk. Al Aqlits Tsani, menimbulkan Al Aqluts Tsalis (akal ketiga) bersama timbulnya Karatul Kawakibits tsabitah, langit bintang-bintang tetap, kemudian akal ketiga melimpah ke Al Aqlur Rabi’ (akal keempat) yang menimbulkan langit bintang zuhal (Saturnus), kemudian melimpah ke Al Aqlul Khamis (akal kelima) dengan munculnya langit bintang Musytari (Yupiter), lalu ke Al Aqlu Sadis (akal keenam) bersama bintang Mirris (Mars), selanjutnya Al Aqlust Tsabi’ (akal ketujuh) dengan munculnya langit matahari, Al Aqlusts Tsamin (akal kedelapan) bersama langit bintang zuhrah (Venus), Al Aqlut Tasi’ (akal kesembilan) dengan langit bintang ‘Utharid (Markurius), akhirnya, Al Aqlul Asyir bersama dengan langit bulan. Adapun Al Aqlul Asyir (akal kesepuluh) ini dinamakan Al Aqlul Fa’al (akal yang aktif bekerja), orang barat menyebut Active Intellect.[8]
Persoalan yang muncul adalah bagaimana hubungan Al Aqlul Fa’al dengan isi bumi baik manusia, hewan dan tumbuh-tumbuhan?. Al-Farabi menjawab dengan kembali kepada teori Aristoteles. Al-Farabi membedakan zat (materi) dan bentuk (surah), bahwa materi merupakan kemungkinan belaka, namun bentuk dapat menentukan kemungkinan tersebut. Sebagai contoh, kayu sebagai materi banyak mengandung kemungkinan, bisa menjadi kursi, lemari, meja dan sebagainya. Kemungkinan baru tersebut dapat terlaksana menjadi realitas apabila diberi bentuk, semisal bentuk lemari, kursi, meja, kotak, dan lain sebagainya.

C.  Ibnu Maskawaih
Maskawaih adalah seorang filosuf Muslim yang memusatkan perhatiannya pada etika Islam. Meskipun disiplin ilmu yang dimilikinya termasuk seorang sejarahwan, tabib, ilmuan dan sastrawan. Pengetahuannya tentang kebudayaan Romawi, Persia, dan India, termasuk filsafat Yunani, sangat luas.
Nama lengkapnya adalah Abu Ali Al-Khasim Ahmad bin Ya’qub bin Maskawaih. Sebutan nama yang lebih masyhur adalah Maskawaih atau Ibnu Maskawaih. Nama ini diambil dari nama kakeknya yang semula beragama Majusi (Persia) kemudian masuk Islam. Gelarnya adalah Abu Ali, yang diperoleh dari nama sahabat Ali, yang bagi kaum Syi’ah dipandang sebagai yang berhak menggantikan nabi dalam kedudukannya sebagai pemimpin umat Islam sepeninggalannya. Dari gelar ini tidak salah jika orang mengatakan bahwa Maskawaih tergolong penganut aliran Syi’ah. Gelar lain juga sering disebutkan, yaitu Al-Khazim, yang berarti bendaharawan, disebabkan pada masa kekuasaan Adhud Al-Daulah dari Bani Buaih ia memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawannya.[9]
Maskawaih dilahirkan di Ray (Taheran sekarang). Mengenai tahun kelahirannya, para penulis menyebutkannya berbeda-beda. M.M Syarif menyebutkan tahun 330 H/932 M. Abdul Aziz Izzat menyebutkan tahun 325 H. Sedang wafatnya (semua sepakat) pada Shafar 421 H/16 Pebruari 1030 M.
Riwayat pendidikan Maskawaih tidak diketahui dengan jelas. Maskawaih tidak menulis autobiografinya, dan para penulis riwayatnya pun tidak memberikan informasi yang jelas mengenai latar belakang pendidikannya. Namun demikian dapat diduga bahwa Maskawaih tidak berbeda dari kebiasaan anak menuntut ilmu pada masanya. Ahmad Amin memberikan gambaran pendidikan anak pada zaman ‘Abbasiyah bahwa pada umumnya anak-anak bermula dengan belajar membaca, menulis, mempelajari Al-Qur’an dasar-dasar bahasa Arab, tata bahasa Arab (nahwu) dan ‘arudh (ilmu membaca dan membuat sya’ir). Mata pelajaran-mata pelajaran dasar tersebut diajarkan di surau-surau; di kalangan keluarga yang berada yang mana guru didatangkan ke rumah untuk memberikan les privat kepada anak-anaknya. Setelah ilmu-ilmu dasar itu diselesaikan, kemudian anak-anak diberikan pelajaran ilmu fiqih, hadits, sejarah (khususnya sejarah Arab, Parsi, dan India) dan matematika. Kecuali itu diberikan pula macam-macam ilmu praktis, seperti: musik, bermain catur dan furusiah (semacam ilmu kemiliteran).[10]
Diduga Maskawaih pun mengalami pendidikan semacam itu pada masa mudanya, meskipun menurut dugaan juga Maskawaih tidak mengikuti pelajaran privat, karena ekonomi keluarganya yang kurang mampu untuk mendatangkan guru, terutama untuk pelajaran-pelajaran lanjutan yang biayanya mahal. Kemungkinan besar perkembangan ilmu Maskawaih diperoleh dengan banyak dan tekunnya ia membaca buku, terutama disaat memperoleh kepercayaan menguasai perpustakaan Ibnu Al-‘Amid, Menteri Rukn Al-Daulah, juga akhirnya memperoleh kepercayaan sebagai bendaharawan ‘Adhud Al-Daulah.
Adapun karya-karya Maskawaih yang dapat terekam oleh para penulis (sejarahwan) di antaranya adalah sebagai berikut:
1.      Kitab Al-Fauz Al-Ashgar, tentang Ketuhanan, jiwa dan kenabian (metafisika);
2.      Kitab Al-Fauz Al-Akabr, tentang etika;
3.      Kitab Thabarat Al-Nafs, tentang etika;
4.      Kitab Tahdzib Al-Akhlaq wa Tathhir Al-‘Araq, tentang etika;
5.      Kitab Tartib As-Sa’adat, tentang etika dan politik terutama mengenai pemerintahan Bani ‘Abbas dan Banu Buwaih;
6.      Kitab Tajarib Al-Umam, tentang sejarah yang berisi peristiwa-peristiwa sejarah sejak setelah air bah Nabi Nuh hingga tahun 369 H;
7.      Kitab Al-Jami’, tentang ketabiban;
8.      Kitab Al-Adwiyah, tentang obat-obatan;
9.      Kitab Al-Asyribah, tentang minuman;
10.  Kitab Al-Mustaudi, berisi kumpulan syair-syair pilihan;
11.  Kitab Maqalat fi Al-Nafsi wa Al-‘Aql, tentang jiwa dan akal;
12.  Kitab Jawizan Khard (Akal Abadi), yang membicarakan panjang lebar tentang pemerintahan dan hukum yang berlaku di Arab, Persia, India, dan Romawi.[11]
Pemikiran filsafat Maskawaih, ia membedakan antara pengertian hikmah (kebijaksanaan, wisdom) dan falsafah (filsafat). Menurutnya, hikmah adalah keutamaan jiwa yang cerdas (aqilah) yang mampu membeda-bedakan (mumayyiz). Hikmah adalah: bahwa engkau mengetahui segala yang ada (Al-Maujudat) sebagai adanya. Atau jika engkau mau dapat kau katakan bahwa hikmah adalah “bahwa engkau mengetahui perkara-perkara Ilahiah (Ketuhanan) dan perkara-perkara insaniah (kemanusiaan), dan hasil dari pengetahuan engkau mengetahui kebenaran-kebenaran spiritual (ma’qulat) dapat membedakan mana yang wajib dilakukan dan mana yang wajib ditinggalkan”.[12]

D.  Ibnu Sina
Nama lain Ibnu Sina adalah Abu Ali Hosain Ibn Abdullah Ibn Sina. Di Eropa dia lebih dikenal dengan nama Avicenna. Beliau lahir di sebuah desa Afsyana, di daerah Bukhara pada tahun 340 H / 980 M. Kelahiran beliau ditengah masa yang sedang kacau, di masa kekuasaan ‘Abassiyah mulai mundur dan negeri-negeri semulanya dibawah kekuasaan ‘Abbasiyah sehingga melepaskan diri dan berdiri sendiri. Termasuk kota Baghdad sebagai pusat pemerintahannya dikuasai oleh goongan Banu Buwaih pada tahun 334 H hingga tahun 447 H.
Ibnu Sina dibesarkan di daerah kelahirannya. Ia belajar Al-Qur’an dengan menghafalnya dan belajar ilmu-ilmu agama serta ilmu-ilmu pengetahuan umum, seperti: astronomi, matematika, fisika, logika, kedokteran, dan ilmu metafisika.
Ketika umur beliau belum mencapai 16 tahun sudah menguasai ilmu kedokteran, sehingga banyak orang yang datang kepadanya untuk berguru. Kepandaiannya tidak hanya dalam teori saja, melainkan segi praktikpun ia menguasai. Pada waktu Nuh bin Mansur, penguasa Bukhara menderita sakit, dan kebanyakan dokter  tidak mampu mengobati, maka setelah diperiksa dan diobati Ibnu Sina, Khalifah itu menjadi sembuh. Sejak itulah ia mendapat sambutan yang baik sekali dari masyarakat.
Pada waktu usianya mencapai 22 tahun, ayahnya meninggal dunia, kemudian ia meninggalkan negeri Bukhara untuk menuju ke Jurjan, dan dari sini ia pergi ke Chawarazm. Di Jurjan ia mengajar dan mengarang, tetapi karena kekacauan politik, ia tidak lama tinggal di situ. Hidupnya berpindah-pindah dari suatu tempat ke tempat lain, hingga sampai di Hamadan. Di tempat ini beliau dijadikan menteri oleh Syamsuddaulah untuk beberapa kali, meskipun di sini ia pernah dipenjarakan beberapa bulan. Kemudian ia pergi ke Isfahan, di bawah penguasa Ala Addaulah, ia kembali ke Hamadan, ketika Ala Addaulah merebut negeri Hamadan. Ia meninggal pada tahun 428 H/1037 M pada usia 57 tahun.
Ibnu Sina meskipun disibukkan oleh kegiatan politik namun karena kecerdasan yang dimilikinya, menyebabkan ia mampu menulis beberapa buku. Karena ia pandai mengatur waktu dalam aktivitas politik, mengajar, dan mengarang. Dalam tulis menulis tidak kurang dari 50 lembar karya yang dapat disajikan. Ia sangat berjasa bagi pera ilmuwan, dengan karya-karya yang berguna.
Adapun karangan-karangan Ibnu Sina yang terkenal adalah:
1.      As-Syifa’, buku ini adalah buku filsafat yang terpenting dan terbesar, dan terdiri dari 4 bagian, yaitu logika, fisika, matematika dan metafisika (ketuhanan). Buku tersebut mempunyai beberapa naskah yang terbesar di berbagai perpustakaan barat dan timur. Bagian ketuhanan dan fisika pernah dicetak dengan cetakan batu di Taheran. Pada tahun 1956 Lembaga Keilmuan Cekoslowakia di Praha menerbitkan pasal keenam dari bagian fisika yang khusus mengenai ilmu jiwa, dengan terjemahannya ke dalam bahasa Prancis, di bawah asuhan  Jean Pacuch. Bagian logika diterbitkan di Kairo pada tahun 1954, dengan nama Al-Burhan, di bawah asuhan Dr. Abdurrahman Badawi.
2.      An-Najat, buku ini merupakan ringkasan buku As-Shafa’, dan pernah diterbitkan bersama-sama dengan buku Al-Qanun dalam ilmu kedokteran pada tahun 1593 M di Roma dan pada tahun 1331 H di Mesir.
3.      Al-Syarat Wat-Tanbihat, buku ini adalah buku terakhir dan yang paling baik, dan pernah diterbitkan di Leiden pada tahun 1892, dan sebagiannya diterjemahkan ke dalam bahasa Prancis. Kemudian diterbitkan lagi di Kairo pada tahun 1974 di bawah asuhan Dr. Sulaiman Dunia.
4.      Al-Hikmat Al-Masyiriqiyyah, buku ini banyak dibicarakan orang, karena tidak jelasnya maksud judul buku, dan naskah-naskahnya yang masih ada memuat bagian logika. Ada yang mengatakan bahwa isi buku tersebut mengenai tasawuf. Tetapi menurut Carlos Nallino, berisi filsafat timur sebagai imbangan dari filsafat barat.
5.      Al-Qanun, atau Canon of Medicine, menurut penyebutan orang-orang barat. Buku ini pernah diterjemahkan ke dalam bahasa Latin dan pernah menjadi buku standard untuk universitas-universitas Eropa, sampai akhir abad ke 17 M. Buku tersebut pernah diterbitkan di Roma tahun 1593 M dan di India tahun 1323 H.


E.  Al-Ghazali
Nama lengkapnya adalah Muhammad bin Muhammad bin Muhammad bin Ahmad Abu Hamid Al Ghazali. Beliau dilahirkan di Thus, suatu kota di Khurasan pada tahun 450 M. Ayahnya seorang pekerja pembuat pakaian dari bulu (wol) dan menjualnya di pasar. Setelah ayahnya meninggal, Al Ghazali diasuh oleh seorang ahli tasawuf.
Pada masa kecilnya ia mempelajari ilmu fiqh di negerinya sendiri pada Syekh Ahmad bin Muhammad Ar Rasikani, kemudian belajar pada Imam Abi Nasar Al Ismaili di negeri Jurjan. Setelah mempelajari beberapa ilmu di negerinya, maka ia berangkat ke Nishabur dan belajar pada ImamAl Haromain. Di sinilah ia mulai kelihatan tanda-tanda ketajaman otaknya yang luar biasa dan dapat menguasai beberapa ilmu pengetahuan pokok pada masa itu seperti ilmu mantiq (logika), falsafah dan fiqh madzhab Syafi’i. Karena kecerdasannya itulah Imam Al Haromain mengatakan bahwa Al Ghazali itu adalah “lautan tak bertepi....”.
Setelah Imam Al Haromain wafat, Al Ghazali pergi ke Al Ashar untuk berkunjung kepada Menteri Nizam al Muluk dari pemerintahan dinasti Saljuk. Ia disambut dengan penuh kehormatan sebagai seorang ulama besar. Kemudian dipertemukan dengan para alim ulama dan para ilmuwan. Semuanya mengakui akan ketinggian ilmu yang dimiliki Al Ghazali. Menteri Nizam al Muluk akhirnya melantik Al Ghazali pada tahun 484 H/1091 M sebagai guru besar (profesor) pada perguruan tinggi Nizamiyah yang berada di kota Baghdad. Al Ghazali kemudian mengajar di perguruan tinggi selama 4 tahun. Di sini ia beribadat di masjid Al Umawi pada suatu sudut hingga terkenal sampai sekarang dengan nama Al-Ghazaliyah. Pada saat itulah ia sampai mengarang sebuah kitab yang sampai kini kitab tersebut sangat terkenal yaitu Ihya Ulumuddin. Al Ghazali tinggal di Damaskus itu kurang lebih selama 10 tahun, dimana ia hidup dengan amat sederhana, berpakaian seadanya, menyedikitkan makan minum, mengunjungi masjid-masjid, memperbanyak ibadah dan berbuat yang dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT dan berkhalawat.[13]
Ia menetapkan bahwa tujuannya adalah membentengi aqidah Ahlus-Sunnah Wal Jama’ah dan menjaganya dari gangguan ahli bid’ah. Itu adalah ilmu yang memadai dengan tujuannya walaupun tidak memadai dengan maksud Al-Ghazali sendiri.[14]
Adapun penyerangan dari kalangan fuqaha dan tasawuf (Ibnu Rusyd) adalah disebabkan sikap Al-Ghazali yang menantang para filosuf Islam, bahkan ia sampai mengafirkan dalam tiga hal yaitu:
1)      Pengingkaran terhadap kebangkitan jasmani.
2)      Membatasi pengetahuan Tuhan kepada hal-hal yang besar saja, dan
3)      Ada kepercayaan tentang qadimnya alam dan keasliannya.
Penyerangan termuat dalam kitabnya yang terkenal yaitu Tahafut Al Falasifah dan Al Munqidz min Ad Dhalal, akan tetapi dalam bukunya yang lain, yaitu Mizan Al Amal dikatakan bahwa ketiga-tiganya persoalan tersebut menjadi kepercayaan orang-orang tasawuf juga. Juga dalam bukunya Al Madhnun ‘ala Ghairi Alhlihi, ia mengakui qadimnya alam.  Kemudian dalam Al Munqidz min Ad Dhalal ia menyatakan bahwa kepercayaan yang dipeluknya ialah kepercayaan orang-orang tasawuf.
Tafsiran para pembahas disini berbeda-beda. Menurut Ibnu Tufail, perlawanan terseubut memang suatu kontradiksi benar-benar dari pemikiran Al Ghazali. Menurut Ibnu Salah, karena Al-Ghazali dari aliran ahlussunnah, maka pikiran-pikiran daribukunya yang berlawanan dengan aliran ini dianggap bukan dari Al-Ghazali, seperti buku Al Madhnun ‘ala Ghairi Ahlihi.
Menurut Dr. Zaki Mubarrak dalam bukunya Al Akhlaqin Al-Ghazali, perbedaan pendapat tersebut disebabkan karena perkembangan pikiran Al-Ghazali, mulai dari seorang murid biasa, kemudian menjadi murid yang cemerlang namanya, meningkat menjadi guru yang tenar. Akhirnya menjadi kritikus yang kuat dan menguasai dan menyingkap bermacam-macam pendapat, kemudian menjadi pengarang besar yang membanjiri dunia dengan pembahasan-pembahasan dan buku-bukunya.
Namun demikian Dr. Sulaiman Dunia, mempunyai penafsiran lain. Ia mengatakan bahwa semuabuku-buku Al-Ghazali masih dipeganginya terus sampai akhir hayatnya. Tetapi harus diingat, ada buku-buku yang ditujukan kepada orang biasa (awam) dan ada pula yang khusus ditujukan kepada orang-orang tertentu sekali, dan oleh karena itu sudah barang tentu isinya tidak akan sama.




BAB  III
P E N U T U P

A.  Kesimpulan
Setelah kita mentelaah dan mencermati uraian pemikiran-pemikiran para filosuf Islam di dunia timur, maka dapatlah penulis menarik kesimpulan sebagai berikut :
Al-Kindi adalah filosuf Islam yang mula-mula secara sadar berupaya mempertemukan ajaran-ajaran Islam dengan filsfat Yunani. Sebagai seorang filosuf, Al-Kindi amat percaya kepada kemampuan akal untuk memperoleh pengetahuan yang benar tentang realitas. Tetapi dalam waktu yang sama diakuinya pula keterbatasan akal untuk mencapai pengetahuan metafisis. Oleh karenanya menurut Al-Kindi diperlukan adanya Nabi yang mengajarkan hal-hal di luar jangkauan akal manusia yang yang diperoleh dari wahyu Tuhan.
Al-Farabi ia lebih banyak menggeluti masalah moral, politik dan psikologi dibandingakan Al-Kindi. Ia menghadapi secara tegas problematika qada dan qadar. Ia mengetahui tingkah laku individu disamping serius mengatur urusan-urusan kemasyarakatan. Nampaknya ia merupakan kaum paripatetik Arab yang paling serius mendalami sosiologi. Ia memfokuskan diri pada kebahagiaan, yang menurutnya merupakan tujuan tertinggi yang didambakan manusia yang bisa diraih hanya dengan melakukan perbuatan-perbuatan terpuji melalui kehendak dan pemahaman yang diniati. Setiap orang akan bisa melakukan kebaikan dan meraih kebahagiaan jika hal itu dikehendakinya. Sebab, menurutnya kehendak merupakan sendi moral sekaligus sebagai sendi politik---begitu menurut istilah dia---juga ilmu madani. Yaitu ilmu yang meneliti tentang jenis-jenis perbuatan dan hukum-hukum yang berlaku. Sebab moral  dan politik menurut beliau berhubungan erat. Karena Madinah fadilah (kota ideal) mirip sekali dengan kota-kota yang sempurna dan sehat yang masing-masing anggotanya saling membantu.
Ibnu Maskawaih adalah filosuf Islam dalam. Tetapi kefilosufannya itu tidak ia raih melalui jalur pendidikan formal, melainkan dengan otodidak. Dialah contoh seorang otodidak sukses dan sejati. Dan perlu dicatat di sini bahwa pengaruh filsafat Yunani sangat besar merasuk dalam pikirannya sehingga terkesan menomorduakan ajaran-ajaran Islam. Filsafat Yunani mendapat porsi yang lebih besar dibandingan porsi agama. Misalnya ketika menyebut tentang keutamaan-keutamaan moral, bukannya menonjolkan nilai-nilai akhlak Islam tetapi justru mengadopsi konsep Plato, Aristoteles, dan Galen.
Ibnu Sina, karyanya memberikan kesan bahwa problematika qada dan qadar membara di zamannya. Anggapan terkuat menyatakan bahwa majlis-majlis kaum Isma’iliyah dan propagandis Fatimi tidak kehilangan kesempatan untuk membicarakan masalah ini sebagai pendukung atau penentang. Sebagai bukti ialah bahwa Syeikh al-Ra’is (gelar Ibnu Sina) mengantisipasi masalah ini tidak hanya sekali. Mengenai masalah ini, ia menulis sejumlah risalah. Nampak kegoncangan yang menimpa hidupnya maupun penjara dan hukum buang yang dialaminya, ada kaitannya dengan pemecahan topik dimaksud.
Al-Ghazali memiliki pemikiran berisi tiga persoalan filsafat yaitu ilmu mantq, metafiska dan fisika yang diuraikan dengan sejujur-jujurnya. Seolah-olah ia seorang filosuf yang menulis tentang kefilsafatan dalam karyanya Maqashid Al Falasifah, sesudah itu ia menulis sebuah buku Tahafutu al Falasifah dimana ia bertindak bukan sebagai seorang filosuf, melainkan sebagai seorang tokoh Islam yang hendak mengkritik filsafat dan menunjukkan kelemahan-kelemahannya serta kejanggalan-kejanggalannya yaitu dalam hal-hal yang berlawanan dengan agama. Tetapi ilmu dimaksud menimbulkan 2 keberatan: (1) Karena keberatan dan ketelitian ilmu-ilmu matematika, maka boleh jadi orang ada yang mengira bahwa semua lapangan filsafat demikian pula keadaannya, sampaipun dalam lapangan ketuhanan; (2) Sikap yang timbul dari pemeluk Islam yang bodoh yaitu menduga bahwa untuk menegakkan agama, harus mengingkari semua ilmu yang berasal dari filosuf-filosuf, dan mengatakan bahwa mereka bodoh semua, sehingga pendapat-pendapat mereka tentang gerhana juga harus diingkari dan dianggap berlawanan dengan syara’.

B.  Sumbang Saran
Entah kebetulan atau tidak, ketika filsafat di dunia Islam bisa dikatakan telah usai dan berpindah ke Eropa, peradaban Islam pun mengalami kemunduran sementara di Eropa sendiri mengalami masa yang disebut sebagai abad Renaissance atau abad pencerahan, pada sekitar abad ke-15 M. Tapi tidak demikian halnya dalam komunitas gereja. Adapun para filsuf zaman modern setelah masa Aufklarung, abad ke-17 M, menegaskan bahwa pengetahuan tidak berasal dari kitab suci atau ajaran agama, tidak juga dari para penguasa, tetapi dari diri manusia sendiri. Para filosuf modern yang tercatat dalam sejarah ialah Descartes, Karl Marx, Nietsche, JJ Rosseau, Dan lain sebagainya.
DAFTAR  PUSTAKA

Madkour Ibr                               Fi al-Falsafah al-Islamiyyah (diterjemahkan dengan judul Aliran dan Teori Filsafat Islam, oleh Yudian Wahyudi Asmin), PT Bumi Aksara, Jakaarta, 2009.
Mustofa, H.A,                            Filsafat Islam, Cet V, CV Pustaka Setia, Bandung, 2009.
Wiramihardj                               Pengantar Filsafat (Sistematika Filsafat, Logika dan Filsafat Ilmu (Epistimologi), Metafisika dan Filsafat Manusia, Aksiologi), Cet II, PT Refika Aditama, Bandung, 2007.
Hanafi Ahmad,                          Pengantar Filsafat Islam, Cet 5, Jakarta, Bulan Bintang, 1991.
                                                   Manusia, Filsafat, dan Sejarah, PT Bumi Aksara, Jakarta, 2006.
Qadir, C.A,                                Filsafat dan Ilmu Pengetahuan dalam Islam (penerjemah Hasan Basari; dengan judul asli: Philosophy and Science in the Islamic World, 1988), Yayasan Obor, 1989.


        [1]      H.A. Mustofa,  Fisafat Islam, CV. Pustaka Setia, Bandung , 1997, halaman 99
        [2]      Aliran Eklektisisme adalah suatu atau kepercayaan yang tidak mempergunakan atau mengikuti metoda apapun yang ada, melainkan mengambil apa yang paling baik dari metoda-metoda filsafat.
        [3]      Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah (Penerjemah, Yudian Wahyudi Asmin: Aliran dan Teori Filsafat Islam), PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm, 230
[4]      Mustofa,  op cit, halaman 102
        [5]      Ibid., halaman, 103
        [6]      Ibid., halaman, 127
        [7]      Madkour,  op cit, halaman 231
        [8]      Mustofa,  op cit, halaman 129
        [9]      M. Luthfi Jum’ah, Tarikh Falasifah Al-Islam, Mesir, 1927, halaman, 304-305
        [10]   Ahmad Amin, Dhuha Al-Islam, Cairo, 1956, II, halaman 66-68
        [11]   Mustofa,  op cit, halaman 169
        [12]   Ibid, halaman 169
[13]   Mustofa,  op cit, halaman 215
[14]   Ibrahim Madkour, Fi al-Falsafah al-Islamiyyah (Penerjemah, Yudian Wahyudi Asmin: Aliran dan Teori Filsafat Islam), PT. Bumi Aksara, Jakarta, 2009, hlm, 74

Tidak ada komentar:

Posting Komentar