Senin, 29 September 2014

Makalah Umi Stit Ulwy Istinbath Dan Kaidah-kaidahnya



KATA PENGANTAR



Bismillahirrohmanirrohim

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang ”Teori Istinbath Dan Kaidah-Kaidahnya” ini. Makalah  ini merupakan tugas yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat  bagi kita semua, khususnya  bagi penulis sendiri.












Mojokerto , 29 September 2014





       Penyusun








DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………...1

Daftar Isi…………………………………………………………………… 2

BAB  I

1.1      Latar Belakang………………………………………………………... 3         
                                                                                                               
1.2      Rumusan Masalah………………………………………….................. 3
               
1.3      Tujuan………………………………………………………………….3


BAB  II

         2.1   Pengertian Istinbath……………………………………………….……4

a.       Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata ………………………...…..5

b.      Kontruksi Hukum dengan Analisa Makna ………………….…..…..7
        
2.2  Kaidah-kaidanya……………………………………………….….…....9
        a. Kesatu……………………………………………….……...……...10
        b. Kedua……………………………………………….………...…...11
        c. Ketiga………………………………………………….………......12
        
BAB  III

         3.1   Kesimpulan…………………………………….……………………..11
         .
         3.2   Saran……………………………………………….………………....11

3.3   Daftar Pustaka……………………………………….…………….....11






BAB I
PENDAHULUAN

A.    Latar Belakang

Sebagaimana diketahui, sumber pokok Hukum Islam adalah wahyu, baik yang tertulis (kitab Allah/Al-Qur’an) maupun yang tidak tertulis (Sunnah Rasulullah). Materi-materi hukum yang terdapat di dalam sumber tersebut, secara kuantitatif terbatas jumlahnya. Karena itu terutama setelah berlalunya zaman Rasulullah, dalam penerapannya diperlukan penalaran.
Permasalahan-permasalahan yang tumbuh dalam masyarakat adakalanya sudah ditemukan nashnya yang jelas dalam kitab suci Al-Qur’an atau Sunnah Nabi, tetapi adakalanya yang ditemukan dalam Al-Qur’an atau Sunnah Nabi itu hanya berupa prinsip-prinsip umum. Untuk pemecahan permasalahan-permasalahan baru yang belum ada nashnya secara jelas, perlu dilakukan istinbath hukum, yaitu mengeluarkan hukum-hukum baru terhadap permasalahan yang muncul dalam masyarakat dengan melakukan ijtihad berdasarkan dalil-dalil yang ada dalam Al-Qur’an atau Sunnah.
Dengan jalan istinbath itu hukum Islam akan senantiasa berkembang seirama dengan terjadinya dinamika perkembangan masyarakat guna mewujudkan kemaslahatan dan menegakkan ketertiban dalam pergaulan masyarakat serta menjamin hak dan kewajiban masing-masing individu yang berkepentingan secara jelas.
Bagi seseorang yang hendak melakukan ijtihad, maka ilmu ushul fikih mutlak diperlukan karena ia merupakan alat atau bahan acuan dalam melakukan istinbath hukum. Dalam makalah ini akan dibahas teori istinbath dan istidlal yang digunakan dala studi hukum islam.

B.     Rumusan Masalah
1. Apa pengertian istinbath dan istidlal ?
2. Bagaimana teori istinbath dan istidlal ?
3. Apa saja kaidah-kaidah istinbath ?
C.     Tujuan
1.      Untuk mengetahui pengertian istinbath dan istidlal.
2.      Untuk mengetahui teori istinbath dan istidlal.

BAB II
PEMBAHASAN
A.            Teori Istinbath

1.      Pengertian Istinbath

Istinbath” berasal dari kata “nabth” yang berarti : “air yang mula-mula memancar keluar dari sumur yang digali”. Dengan demikian, menurut bahasa, arti istinbath ialah “mengeluarkan sesuatu dari persembunyiannya”.[1] Setelah dipakai sebagai istilah dalam studi hukum islam, arti istinbath menjadi “upaya mengeluarkan hukum dari sumbernya”. Makna istilah ini hampir sama dengan ijtihad. Fokus istinbath adalah teks suci ayat-ayat Al-Qur’an dan hadis-hadis Nabi. Karena itu, pemahaman, penggalian, dan perumusan hukum dari kedua sumber tersebut disebut istinbath.
Upaya istinbath  tidak akan membuahkan hasil yang memadai, tanpa pendekatan yang tepat. Tentu saja pendekatan ini terkait dengan sumber hukum. Menurut ‘Ali Hasaballah, sebagaimana dikutip oleh Nasrun Rusli,[2] melihat ada dua cara pendekatan yang dikembangkan oleh para pakar dalam melakukan istinbath, yakni melalui kaidah-kaidah kebahasan dan melalui pengenalan maksud syariat.
Adapun syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh orang yang akan melakukan istinbath atau ijtihad adalah sebagai berikut :
a.       Memiliki ilmu pengetahuan yang luas tentang ayat-ayat Al-Qur’an yang berhubungan dengan masalah hukum.
b.      Memiliki pengetahuan yang luas tentang hadis-hadis Nabi yang berhubungan dengan masalah hukum.[1]
c.       Menguasai seluruh masalah yang hukumnya telah ditunjukkan oleh Ijma’, agar dalam menentukan hukum sesuatu, tidak bertentangan dengan Ijma’.
d.      Meiliki pengetahuan yang luas tentang qiyas, dan dapat mempergunakannya untuk istinbath hukum.
e.       Mengetahui ilmu logika, agar dapt mengahasilkan kesimpulan yang benar tentang hukum, dan sanggup mempertanggungjawabkannya.
f.       Menguasai bahasa Arab secara mendalam karena al-Qur’an dan Sunnah tersusun dalam bahasa Arab, dll.[3]

2.      Kontruksi Hukum dengan Analisa Tata Bahasa

Maksud analisa tata bahasa adalah memahami bahasa teks yang tampak. Teks ini bisa diucapkan, ditulis, dan dipahami pengertiannya.[4] Sasaran kajian teks ini adalah ayat-ayat al-Qur’an dan Sunnah Nabi yang termaktub dalam kitab-kitab hadis. Teks tersebut ditulis dalm bahasa Arab, sehingga penalarannya juga menggunakan kajian bahasa Arab.
Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian. Ungkapan “barangsiapa” berarti menunjuk kepada siapapun, jenis kelamin apapun, generasi manapun tanpa pembatasan. Sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Para pakar studi hukum islam sepakat bahwa pernyataan hukum yang khusus bersifat final dan pasti sehingga menutup pengertian yang lain. Namun demikian, pernyataan hukum yang khusus ini ada yang bersifat mutlak tanpa pembatasan dan ada pula yang dibatasi.[5]
Suatu pernyataan dianggap mutlaq jika tidak ada pembatasan sama sekali yang mempersempit keluasan pengertiannya. Sebaliknya pernyataan dianggap terbatas karena ada pembatasan yang mempersempit pengertiannya.
Dalam al-Qur’an, banyak terjadi pengulangan kata, baik yang mutlak maupun maupun terbatas. Para studi hukum Isam membuat rumusan mengenai hal ini. Jika kata yang diulangi bermakna mutlak semua, maka maknanya juga mutlak dan sebaliknya.
Akan tetapi jika pengulangan itu membuat kata yang mutlak dan terbatas dalam tempat yang berlainan, maka terdapat dua kemungkinan makna, Pertama, kata yang mutlak diberi pembatasan sesuai kata yang terbatas. Kedua, kata yang mutlak tidak dibatasi sebagaimana kata yang terbatas, jika masing-masing berbeda dalam hukum dan sebabnya.
Selain mutlak dan terbatas, pernyataan hukum yang khusus juga disertai perintah dan larangan. Perintah adalah tuntutan untuk melakukan sesuatu dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah. Larangan adalah tuntutan untuk meninggalkan suatu perbuatan dari pihak yang lebih tinggi kedudukannya kepada yang lebih rendah tingkatannya.[6] Perintah menuntut pelaksanaan, bukan perdebatan. Begitu pula, larangan mengharuskan untuk ditinggalkan. Ketaatan terhadap perintah dan larangan Allah mendapatkan pahala dan sebaliknya penentangannya akan mendapatkan dosa.

2.      Kontruksi Hukum dengan Analisa Makna

Pernyataan hukum tentu mengandung makna yang dapat dikontruksikan. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah (‘ibarah nash), analisa pengembangan makna (dilalah al-nash), analisa kata kunci dari suatu pernyataan (isyarah al-nash), dan analisa relevansi makna (iqtidla’ al-nash). [2]Untuk menerapkan keempat teknik analisa tersebut, dapat dikemukakan contoh penggalan ayat 23 surat al-Nisa’ yang bisa diterjemahkan:
“Diharamkan atas kalian ibu-ibu kalian dan putri-putri kalian….”. Ternyata, terjemahan ini tidak bisa dipahami, sehingga muncul pertanyaan, “Dalam hal apakah, orang laki-laki diharamkan atas ibunya dan putrinya?’. Agar bisa dipahami perlu tambahan kata yang relevan pada penggalan ayat diatas. Relevansinya didasarkan pada ayat sebelum dan sesudahnya, sehingga kata yang relevan sebagai tambahan adalah “menikahi”. Inilah kontruksi hukum dengan analisa relevansi makna. (istidla’ al-nash). Penting dicatat bahwa tambahan ini bukan berarti menambahi ayat Al-Qur’an, apalagi merubahnya, melainkan memudahkan pemahaman saja. Karena penggalan ayat tersebut bisa dipahami jika terjemahnya berbunyi : “Diharamkan atas kalian (menikahi) ibu-ibu dan putri-putri kalian….”.
Terjemah penggalan ayat tersebut memberikan dua pengertian yaitu orang laki-laki dilarang menikahi ibunya dan putri kandungnya. Pengertian sederhana ini merupakan hasil analisa makna terjemah (‘ibarah al-nash). Jika makna ini diperluas lagi, maka muncul banyak kesimpulan hukum. Perluasan makna ini merupakan analisa pengembangan makna (dilalah al-nash). Kata kunci dari penggalan ayat tersebut adalah “diharamkan atas kalian”. Ketika keharaman itu disertai dengan kata kunci “atas kalian” maka hal itu akan menunjukkan bahaya dan kerusakan bila hukum haram itu dilakukan. Pemahaman ini adalah hasil dari analisa kata kunci “(isyarah al-nash).

3.      Kaidah-kaidanya

PERTAMA : KATA DITINJAU DARI REDAKSI PENUNJUKKANNYA KEPADA SUATU MAKNA
A.    AL KHOS,
Definisinya, menurut bahasa sesuatu yang sendiri, seperti : اخْتَصَّ فُلانٌ بِكَذَا (seseorang itu mengkhusukan diri dengan demikia).  Menurut istilah yaitu setiap kata yang dibuat untuk menunjukkan satu buah makna secara tersendiri.
Macam-macamnya
1.      khosh syakhsyi (khusus perorangan), seperti nama-nama manusia : Zaid, Muhammad..
2.      khosh nau’i (khusus dari sisi macamnya) seperti kata : رَجُلٌ (orang laki-laki) yaitu bahwa kata ini digunakan untuk menunjukkan satu makna, yaitu laki-laki yang telah melewati masa kecilnya.
3.      khash jinsi (khusus dari sisi jenisnya) seperti kata : الإنِسَان (manusia), yaitu bahwa kata ini dibuat untuk menunjukkan satu buah hakekat, yaitu hewan yang berbicara.
4.      Yaitu kata-kata yang dibuat untuk menunjukkan kepada hal-hal yang bersifat maknawiyah, bukan kepada dzat, seperti ilmu, kebodohan dan lain-lain.
Hukumnya, yaitu bahwa khosh itu menunjukkan kepada makna yang dibuat oleh redaksi katanya secara qoth’i. Ini selama tidak ada dalil lain yang mentakwilkan kekhususannya.
contoh-contohnya
a.       Firman Allah dalam kafarat sumpah : فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَصِيَامُ ثَلَاثَةِ أَيَّامٍ ذَلِكَ كَفَّارَةُ أَيْمَانِكُمْ إِذَا حَلَفْتُمْ (Barangsiapa tidak sanggup melakukan yang demikian, maka kaffaratnya puasa selama tiga hari. Yang demikian itu adalah kaffarat sumpah-sumpahmu bila kamu bersumpah (dan kamu langgar). (Al Maidah : 89)
b.      Hadits tentang nishob zakat : “ …….. Di dalam setiap empat puluh ekor kambing itu zakatnya adalah seekor kambing”.
Cabang cabang dari AL KHOS

1.      Mutlaq
Definisinya, yaitu suatu kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang tersiar pada jenisnya. Hukumnya, tetap berlaku pada kemutlakannya selama tidak ada qoid (ikatan) dan maknanya penunjukkannya adalah bersifat qoth’i (pasti). contoh-contohnya :
a.       Dengan tanpa qoid (ikatan)
Firman Allah : وَالَّذِينَ يُظَاهِرُونَ مِنْ نِسَائِهِمْ ثُمَّ يَعُودُونَ لِمَا قَالُوا فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا (Orang-orang yang menzhihar isteri mereka, kemudian mereka hendak menarik kembali apa yang mereka ucapkan, maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur). (Al Mujadilah : 3)
Nash ini tidak menjelaskan keadaan budak itu muslim atau tidak.
b.      Dengan qoid
Firman Allah : مِنْ بَعْدِ وَصِيَّةٍ يُوصَى بِهَا أَوْ دَيْنٍ غَيْرَ مُضَارٍّ (sesudah dipenuhi wasiat yang dibuat olehnya atau sesudah dibayar hutangnya dengan tidak memberi mudharat (kepada ahli waris). (An Nisa’ : 12)
Washiat pada nash itu adalah mutlak yang disebutkan qoidnya pada sebuah hadits yang masyhur pada kisah Sa’ad bin Abi Waqqosh : “Sepertiga dan sepertiga itu adalah banyak”.

B.             MUQAYYAD
Definisinya yaitu suatu kata yang menunjukkan kepada sesuatu yang tersiar pada jenisnya dengan memberikan ikatan kepadanya dengan suatu sifat tertentu, dengan pengertian bahwa yang selain makna yang diikat itu adalah dianggap sebagai mutlak. Hukumnya wajib mengamalkan sesuai dengan petunjuk dari ikatan itu, selama tidak ada dalil yang lainnya. Pada kafarat, pada kafarat pembunuhan yang salah Allah berfirman : فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak yang muslim). (An Nisa’ : 92). Maka ikatan keimanan itu adalah wajib diamalkan.

KEBERADAAN SUATU LAFADZ YANG MUTLAK DAN PADA WAKTU ITU JUGA MUQAYYAD

1. Jika hukum mutlak dan muqayyad itu adalah sama demikian juga sebab hukumnya
Contohnya :
a.       Yang Mutlak
Firman Allah : حُرِّمَتْ عَلَيْكُمُ الْمَيْتَةُ وَالدَّمُ وَلَحْمُ الْخِنْزِيرِ (Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi). (Al Maidah : 3). Maka darah pada ayat itu adalah mutlak
b.      Yang Muqayyad
Firman Allah : قُلْ لَا أَجِدُ فِي مَا أُوحِيَ إِلَيَّ مُحَرَّمًا عَلَى طَاعِمٍ يَطْعَمُهُ إِلَّا أَنْ يَكُونَ مَيْتَةً أَوْ دَمًا مَسْفُوحًا (Katakanlah: “Tiadalah aku peroleh dalam wahyu yang diwahyukan kepadaku, sesuatu yang diharamkan bagi orang yang hendak memakannya, kecuali kalau makanan itu bangkai, atau darah yang mengalir). (Al An’am : 145). Maka pada ayat itu disebutkan qoid bagi darah itu yaitu keadaannya yang mengalir. Hukumnya, keadaan hukum yang sama yaitu haram. Dan sebabnya adalah sama, yaitu kemudlaratan yang timbul akibat meminum darah. Maka di sini yang mutlak itu dianalogkan kepada yang muqayyad.
2. Jika mutlak dan muqayyad itu berbeda hukum dan sebabnya
Contohnya :
a.        Yang Mutlak
Firman Allah : وَالسَّارِقُ وَالسَّارِقَةُ فَاقْطَعُوا أَيْدِيَهُمَا (Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya). (Al Maidah : 38)
Catatan : Kemutlakan pada ayat ini disebutkan qoidnya pada perbuatan Rasulullah shallallaahu ‘alaihi wa sallam, yaitu memotong sampai siku-siku.
b.      Yang Muqayyad
Firman Allah : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku). (Al maidah : 6). Hukumnya, di sini yang mutlak itu diamalkan sesuai dengan kemutlakannya dan yang muqayyad itu diamalkan sesuai pada tempatnya masing-masing.
4.      Jika hukumnya berbeda dan sebabnya sama
Contohnya
a.       Yang Mutlak
Firman Allah : فَتَيَمَّمُوا صَعِيدًا طَيِّبًا فَامْسَحُوا بِوُجُوهِكُمْ وَأَيْدِيكُمْ مِنْهُ (maka bertayamumlah dengan tanah yang baik (bersih); sapulah mukamu dan tanganmu dengan tanah itu). (Al Maidah : 6)
b.      Yang Muqayyad
Firman Allah : يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا إِذَا قُمْتُمْ إِلَى الصَّلَاةِ فَاغْسِلُوا وُجُوهَكُمْ وَأَيْدِيَكُمْ إِلَى الْمَرَافِقِ (Hai orang-orang yang beriman, apabila kamu hendak mengerjakan shalat, maka basuhlah mukamu dan tanganmu sampai dengan siku). (Al maidah : 6). Hukumnya, kami perhatikan bahwa hukum itu berbeda. Yang pertama mengusap dan yang kedua membasuh. Tetapi sebabnya sama, yaitu hendak mendirikan shalat. Maka berdasarkan hal itu maka masing-masing dari keduanya diamalkan sesuai dengan kemutlakan dan kemuqayayadanya masing-masing.
5.      Jika hukumnya sama dan sebabnya berbeda
Contoh-contohnya :
a.       Yang mutlak, firman Allah tentang kafarat Dzihar : فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مِنْ قَبْلِ أَنْ يَتَمَاسَّا maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak sebelum kedua suami isteri itu bercampur). (Al Mujadilah : 3)
b.      Yang muqayyad, kafarat Pembunuhan yang salah : فَتَحْرِيرُ رَقَبَةٍ مُؤْمِنَةٍ (maka (wajib atasnya) memerdekakan seorang budak yang muslim). (An Nisa’ : 92).
Hukumnya
a.       Madzhab Hanafi, yang mutlak diamalkan sesuai dengan kemutlakannya seperti yang disebutkan dan yang muqayyad diamalkan sesuai dengan kemuqayadannya seperti yang disebutkan.
b.      Jumhur, yang mutlak dianalogkan kepada yang muqayyad.

KEDUA : PERINTAH (AL AMR)

Definisinya, yaitu suatu kata yang dibuat untuk meminta suatu perbuatan dari atas ke bawah. Contoh-contoh bentuk kata perintah. Bentuk kata kerja perintah
Firman Allah : أَقِمِ الصَّلَاةَ لِدُلُوكِ الشَّمْسِ (Dirikanlah shalat dari sesudah matahari tergelincir). (Al Isra’ : 78)
Fi’il Mudlari’ yang bersambung dengan lamul amri
Firman Allah : فَمَنْ شَهِدَ مِنْكُمُ الشَّهْرَ فَلْيَصُمْهُ Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu). (Al Baqoroh : 185). Kalimat berita yang dimaksudnya memerintah, bukan untuk memberitahukan
Firman Allah : وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلَادَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَنْ يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ (Para ibu hendaklah menyusukan anak-anaknya selama dua tahun penuh, yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan). (Al Baqoroh : 233)
Permasalahan ini diperselishkan dari sisi bahwa makna-makna perintah itu dari sisi hakekat atau majaz. Dan masing-masing memiliki dalilnya. Adapaun yang kami tarjih adalah pendapat jumhur bahwa perintah yang mutlak itu menunjukkan kepada kewajiban. Maka makna ini adalah hakekat padanya dan majaz pada makna yang lainnya. Karena itulah tidak dialihkan kepada selain kewajiban kecuali jika ada qorinah (sebab lain yang mengiringi). Dan dalil-dalilnya adalah banyak.
1.       Perintah setelah larangan
2.       Madzhab Hambali, Maliki dan Dzahiri
Sesungguhnya perintah itu menunjukkan kepada kemubahan. Ini banyak disebutkan di dalam syari’at. Diantaranya adalah firman Allah : وَإِذَا حَلَلْتُمْ فَاصْطَادُوا (apabila kamu telah menyelesaikan ibadah haji, maka bolehlah berburu). (Al Maidah : 2), yang disebutkan setelah pengharaman berburu pada firman Allah : غَيْرَ مُحِلِّي الصَّيْدِ وَأَنْتُمْ حُرُمٌ (dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji).(Al Maidah : 1). Maka jadilah perintah untuk berburu itu untuk menunjukkan kemubahan.
1. Sebagian Madzhab Hambali dan Hanafi
Yaitu untuk menghilangkan larangan dan mengembalikan perbuatan kepada keadaannya sebelum adanya larangan. (ini adalah pendapat yang rajih). Banyak pengikut Madzhab Hanafi, perintah itu menunjukkan kewajiban. Perintah menunjukkan ketersegeraan (faur) atau kelonggaran waktu (tarakhi). Ini diperselisihkan di kalangan para ulama. Dan yang rajih –wallaahu a’lam- adalah perincian seperti berikut :
2. Dibatasi dengan waktu
Waktu yang luas, boleh mengakhirkan sampai akhir waktu. Dan mengerjakannya dengan segera adalah lebih baik, berdasarkan firman Allah : وَسَارِعُوا إِلَى مَغْفِرَةٍ مِنْ رَبِّكُمْ (Dan bersegeralah kamu kepada ampunan dari Tuhanmu). (Ali Imran : 133). Waktu yang sempit, tidak boleh diakhirkan, seperti puasa Ramadlan.
3. Tidak dibatasi dengan waktu
Contohnya adalah kafarat-kafarat. Ini adalah kelonggaran waktu dalam menunaikannya, walaupun bersegera menunaikannya adalah lebih utama. Perintah itu menunjukkan keshahihan
Maknanya, yaitu bahwa mengerjakan perintah yang diperintahkan seperti yang dikehendaki oleh perintah itu, maka pekerjaan itu adalah sah.
Contohnya ;
Barangsiapa yang mencari air kemudian dia tidak menemukannya dan menunaikan shalat dengan tayamum, kemudian dia menemukan air pada waktu itu sebelum waktu shalat habis, maka shalat itu tidak menjadi batal, karena dia telah melakukan shalat sesuai dengan yang diperintahkan oleh Allah pada firmannya : فَلَمْ تَجِدُوا مَاءً فَتَيَمَّمُوا (Kemudian kamu tidak menemukan air, maka bertayamumlah). (An Nisa’ : 43)

KETIGA : LARANGAN (AN NAHY)

Definisinya, menurut bahasa adalah larangan. Menurut istilah adalah permintaan untuk tidak melakukan perbuatan dari atas ke bawah dengan kata (shighah) yang menunjukkan kepadanya. Bentuk-bentuk kalimatnya (shighah). Yaitu dengan لاَ nahi (larangan) dan dengan pewanti-wantian dengan kata : إيَّاكَ dan semisalnya serta dengan ungkapan yang redaksinya menunjukkan larangan dan pengharaman. Yang ditunjukkan oleh larangan. Masalah ini diperselisihkan dan yang rajih adalah pendapat jumhur bahwa larangan itu untuk menunjukkan makna pengharaman. Ini adalah makna yang hakikat yang merupakan maknanya secara bahasa dan tidak digunakan pada makna yang lainnya kecuali dengan jalur majaz. Dan qorinahlah yang menunjukkan makna pengalihan itu.
Ketersegeraan (al faur) dan pengulang-ulangan (at tikrar). Yang rajih dari pendapat-pendapat tentang hal ini adalah bahwa larangan itu menunjukkan tuntutan ketersegaraan dan pengulang-ulangan. Karena kerusakan itu tidak dapat ditinggalkan kecuali dengan menahan diri dengan segera dan untuk selama-lamanya. Apakah larangan itu menunjukkan kerusakan (fasid). Ini harus diperinci.
  i.       sesuatu yang dilarang karena dzat perbuatan itu sendiri, sehingga larang itu berpengaruh kepada hakikat perbuatan itu sendiri
Contohnya
a) Menjual sesuatu yang tidak ada
b) Sholat dengan tanpa wudlu
Hukumnya, perbuatan itu dianggap rusak (fasid) dan batal, sehingga kedudukannya sama dengan sesuatu yang tidak ada.
ii.      Jika larangan itu tidak tertuju kepada dzat perbuatan itu, tetapi kepada sesuatu yang berdekatan dengannya
Contohnya
a) larangan jual beli pada waktu adzan untuk shalat Jum’at.
b) Shalat di tanah yang rampasan (ghosob)
Hukumnya, perbuatan itu memiliki akibat yang telah ditentukan oleh syari’at dengan diiringi kemakruhan, karena dilarang oleh syari’at
iii.      Jika larangan itu tertuju kepada beberpa syarat dari perbuatan yang harus ada bagi perbuatan itu, bukan kepada dzat perbuatan itu.
 Contohnya :
a) berpuasa pada hari raya
b) jual beli dengan tidak memnuhi syarat
Hukumnya, jumhur berpendapat bahwa pebuatan itu adalah fasid dan bathal. Dan Madzhab Hanafi membedakan antara ibadah dan mu’amalah.












BAB III
PENUTUP

A.      Simpulan
Istinbath adalah menggali hukum syara’ yang belum ditegaskan secara langsung oleh nash Al-Qur’an atau Sunnah. Dilihat dari segi cakupannya, ada pernyataan hukum yang bersifat umum dan ada juga yang bersifat khusus. Sasaran hukum dalam pernyataan hukum yang umum adalah tanpa pengecualian, sedangkan pernyataan khusus mengandung pengertian tunggal atau beberapa pengertian yang terbatas. Ada empat teknik analisa untuk menggali hukum melalui makna suatu pernyataan hukum yaitu analisa makna terjemah, analisa pengembangan makna, analisa kata kunci dari suatu pernyataan, dan analisa relevansi makna.
Istidlal adalah mencari dalil untuk mencapai tujuan yang diminta. Dalam proses pencarian, al-Qur’an menjadi rujukan yang pertama, al-Sunnah menjadi yang kedua, Ijma’ menjadi yang ketiga dan Qiyas pilihan berikutnya. Dilihat dari segi keberadaannya, dalil dapat dibedakan menjadi dua macam. Pertama, dalil-dalil hukum keberadaannya  terdapat dalam teks suci yaitu al-Qur’an dan Sunnah yang disebut dengan dalil naqli. Kedua, dalil-dalil hukum yang keberadaannya tidak terdapat dalam teks suci, melainkan dirumuskan melalui analisis pemikiran yang disebut dengan dalil ‘Aqli. Berdasarkan pengertian ini, para ulama menempatkan sebelas dalil sebagai landasan penetapan suatu hukum, yaitu: Al-Qur’an, sunnah, ijma’, qiyas, istihsan, istishlah, istishhab, sad al-dzari’ah, ‘urf, syar’u man qablana, dan madzhab al-shahabi.

B.       Saran
Penulis menyadari bahwa makalah ini jauh dari kesempurnaan. Oleh karena itu penulis senantiasa dengan lapang dada menerima bimbingan dan arahan serta saran dan kritik yang sifatnya membangun demi perbaikan makalah berikutnya.






DAFTAR PUSTAKA

Bagir Haidar dan Syafiq Basri. 1996. Ijtihad Dalam Sorotan. Bandung: Mizan Anggota  IKAPI
Effendi Satria. 2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana
Haq Hamka, 1998. Falsafah Ushul Fikih. Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam
Rusli Nasrun. 1997. Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia. Jakarta: Logos Wacana Ilmu
Tim Penyusun MKD IAIN Sunan Ampel. 2011. Studi Hukum Islam, Surabaya: IAIN Sunan Ampel Press


[1]             [1]Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan Anggota IKAPI, 1996), hlm.25
[2] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Asy-Syaukani Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia (Jakarta: Logos Wacana Ilmu, 1997),  hlm. 110-118
[3] Ibid, Haidar Bagir dan Syafiq Basri, Ijtihad Dalam Sorotan,….hlm. 29
[2] [4] Hamka Haq, Falsafah Ushul Fikih, (Ujung Pandang: Yayasan al-Ahkam, 1998) hlm. 203.
    [5] Ibid hal 205
    [6] Ibid hal 206


Tidak ada komentar:

Posting Komentar