BAB
II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya
mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa,
ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul
fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda.
Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan
guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat
(mengambil kesimpulan hukum. Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad
adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat
dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya
itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari
definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam
Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap
permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari
sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh
mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh
tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki
kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya
bisa menjadi pedoman bagi orang banyak. Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata
al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan
seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar
bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan
yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah.
Dalam
definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan
untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari
Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai
oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan,
serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa
rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di
medannya (majalul ijtihad).
Ijtihad secara maknawi adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan
dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
الاِجْتِهَادُ مَعْنَاهُ بَذْلَ
غَايَةِ الجُهْدِ فِى الْوُصُوْلِ إلَى أَمَرٍ مِنَ الْعُمُوْرِ, أَو فِعْلٍ مِنَ
الأَفْعَار
Ijtihad menurut ulama Ushul adalah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
Ijtihad menurut ulama Ushul adalah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
بَذْلُ الْفَقِيْهُ وَسْعُهُ فِى
اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الْعَلَمِيَّةِ مِنْ أَدِلّتِهَا التَّفْصِيْلِيَةِ
Ulama yang lain memberikan definisi ijtihad adalah usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya, baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Demikian menurut ulama ahli Ushul.
اِسْتِفْرَاغُ الْجُهْدِ وَبَذْلُ غَايَةِ الْوَسْعِ, إِمَّا
فِى اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ وَإِمَّا فى تَطْبِيْقِهِمَا
Dari pengertian tentang ijtihad sebagaimana disebutkan di atas, maka ijtihad mengandung dua faktor:
1.
Ijtihad yang khusus untuk menetapkan
suatu hukum dan penjelasannya.
2.
Ijtihad khusus untuk menerapkan dan
mengamalkan hukum
2.
Syarat-syarat
(Ketentuan) Ijtihad
a. Menguasai
bahasa Arab
اَلعِلِمُ بِالْعَرَبِيَّةِ
Ulama
Ushul telah menyepakati bahwa mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa Arab,
karena al-Quran diturunkan – sebagai sumber syari’at – dalam bahasa Arab.
Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Quran, juga
tersusun dengan bahasa Arab.
Kriteria
penguasaan bahasa Arab seorang mujtahid menurut Imam Ghazali adalah : seorang
mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia bisa
membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, dan mujmal; hakekat dan
majaz; yang umum yang khusus; muhkam dan mutasyabih; muthlaq dan
muqayad, nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
Seorang mujtahid wajib mengetahui
bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam,
teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa
teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.
b. Mengerti
dan Memahami nasakh dan mansukh
اَلْعِلْمُ بِالْقُرْاَنِ نَاسخُهُ وَمَنْسُوْخَهُ
Syarat
ini telah disyaratkan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah,
sebagaimana ia mensyaratkan kemampuan berbahasa Arab. Persyaratan ini
didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama
syari’at yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang terkandung di
dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan bahwa :
مَنْ جَمَعَهُ فَقَدْ جَمَعَ النُّبُوَّةِ
“Barangsiapa menguasai al-Quran, sesungguhnya ia telah membawa misi kenabian (nubuwwah).
Para
ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid harus mengerti secara mendalam
ayat-ayat yang membahas tentang hukum yang terdapat dalam al-Quran yang
jumlahnya kira-kira ada 500 ayat. pengetahuannya terhadap ayat-ayat tersebut
harus mendalam sampai pada yang khas dan ‘am serta takhshish
yang datang dari as-Sunah. Demikian juga harus mengerti ayat-ayat yang dinasakh
hukumnya berdasarkan teori bahwa pada ayat-ayat al-Quran itu terdapat ayat yang
menasakh dan yang dinasakh. Dengan menguasai ayat-ayat hukum
tersebut, seorang mujtahid juga harus mengerti meskipun secara global isi
ayat-ayat yang lain merupakan suatu kesatuan yang utuh yang tidak bisa
dipisah-pisahkan satu bagian dengan bagian yang lain. Sebagaimana Imam Asnawi
mengatakan : Sesungguhnya untuk mengetahui perbedaan antara ayat-ayat hukum
dengan ayat lainnya harus mengerti keseluruhannya.”
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh
ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis
yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis
yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti
oleh hadis-hadis lain.
c. Mengerti
Sunnah (Hadits)
اَلْعِلْمُ بِالسُّنَّةِ
Syarat
ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama, bahwa seorang mujtahid
harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah (perkataan), fi’liyah
(perbuatan), maupun taqririyah (ketetapan), minimal pada setiap pokok
masalah (bidang) menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi pembidangannya.
Menurut pendapat yang menolak adanya pembidangan dalam ijtihad, maka seorang
mujtahid harus menguasai seluruh Sunnah yang mengandung hukum taklifi,
dengan memahami isinya serta menangkap maksud hadits dan kondisi yang
melatarbelakangi datangnya suatu hadits. Mujtahid juga harus mengetahui nasakh
dan mansukh dalam Sunnah, ‘am dan khasnya, muthlaq dan
muqayadnya, takhshish dan yang umum. Demikian juga harus mengerti alur
riwayat dan sanad hadits, kekuatan perawi Hadits, dalam arti mengetahui sifat
dan keadaan perawi Hadits yang menyampaikan Hadits-hadits Rasulullah s.a.w.
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia
harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan
atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.
d. Mengetahui
letak ijma’ dan khilaf
مَعْرِفَةُ مَوَاضِعِ الاِجْمَاعِ وَمَوَاضِعِ الْخِلاَفِ
Dengan
mengetahui letak ijma’ yang telah disepakati para ulama salaf, maka seorang
mujtahid diharuskan juga mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi
di antara fuqaha, misalnya perbedaan pendapat serta metode antara ulama Fiqh di
Madinah dan Ulama Fiqh di Irak. Dengan demikian, mujtahid secara rasional akan
mampu membeda-bedakan antara pendapat yang shahih dengan yang tidak shahih,
kaitan dekat atau jauhnya dengan sumber al-Quran dan hadits. Imam Syafi’i mewajibkan
seorang mujtahid memiliki kemampuan demikian, sebagaimana dijelaskan dalam
kitabnya ar-Risalah.
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui
hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus
memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus
mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan
nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan
dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.
e. Mengetahui
Qiyas
مَعْرِفَةُ الْقِيَاسِ
Imam
syafi’i mengatakan, bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan
qiyas. Bahkan, dia juga mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas itu sendiri.
Oleh sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui perihal qiyas yang benar.
Untuk itu, dia harus mengatahui hukum-hukum asal yang ditetapkan berdasar
nash-nash sebagai sumber hukum tersebut, yang memungkinkan seorang mujtahid
memilih hukum asal yang lebih dekat dengan obyek yang menjadi sasaran
ijtihadnya.
Pengetahuan tentang qiyas demikian
memerlukan mujtahid mengetahui tiga hal, yaitu:
- Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta ‘illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’ (Cabang).
- Mengetahui aturan – aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat ‘illatnya sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
- Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salafusshalih dalam mengetahui ‘illat-‘illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqh.
Sedangkan dalam Kitab Al-Bayan
dijelaskan bahwa syarat ijtihad yaitu :
- Mengetahui dan memahami nash Al-Qur’an dan Hadits.
- Menguasai bahasa arab agar memungkinkan melakukan penafsiran terhadap teks
- Menguasai Ilmu Ushul Fiqh dan ilmu lainnya.
- Mengetahui ilmu nasakh dan mansukh.
BAB
III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa
ijtihad merupakan sarana paling efektif untuk mendukung tetap tegak dan
eksisnya hukum Islam serta menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang sanggup menjawab
tantangan zaman. Ijtihad akan berfungsi dan berdayaguna apabila ijthad
dilakukan oleh para ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan
pada tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui kebenaran dan
kesalahannya). Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya jika hal
itu dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di
tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan peranan ijtihad. Islam akan
mengalami kehancuran dan bencana serta malapetaka bagi umatnya jika ijtihad
dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan. Untuk menggalakkan
ijtihad agar menjadikan hukum Islam ini dinamis dan lincah perlu diadakannya
studi fiqih perbandingan lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya perguruan
tinggi. Maka dari itu, marilah kita menjadi mujtahid yang benar, mempunyai
komitmen yang utuh terhadap ajaran agama Islam.
b.
Daftar
Pustaka
Sumber :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar