Selasa, 23 September 2014

Ijtihad dan Ketentuannya




BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum. Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).

Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak. Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.

Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).

Ijtihad secara maknawi adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
الاِجْتِهَادُ مَعْنَاهُ بَذْلَ غَايَةِ الجُهْدِ فِى الْوُصُوْلِ إلَى أَمَرٍ مِنَ الْعُمُوْرِ, أَو فِعْلٍ مِنَ الأَفْعَار

Ijtihad menurut ulama Ushul adalah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.
بَذْلُ الْفَقِيْهُ وَسْعُهُ فِى اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الْعَلَمِيَّةِ مِنْ أَدِلّتِهَا التَّفْصِيْلِيَةِ

Ulama yang lain memberikan definisi ijtihad adalah usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya, baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Demikian menurut ulama ahli Ushul.
اِسْتِفْرَاغُ الْجُهْدِ وَبَذْلُ غَايَةِ الْوَسْعِ, إِمَّا فِى اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ وَإِمَّا فى تَطْبِيْقِهِمَا

Dari pengertian tentang ijtihad sebagaimana disebutkan di atas, maka ijtihad mengandung dua faktor:
1.      Ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hukum dan penjelasannya.
2.      Ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hukum

2.      Syarat-syarat (Ketentuan) Ijtihad

     a.   Menguasai bahasa Arab
 اَلعِلِمُ بِالْعَرَبِيَّةِ
               Ulama Ushul telah menyepakati bahwa mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa Arab, karena al-Quran diturunkan – sebagai sumber syari’at – dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Quran, juga tersusun dengan bahasa Arab.
Kriteria penguasaan bahasa Arab seorang mujtahid menurut Imam Ghazali adalah : seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, dan mujmal; hakekat dan majaz; yang umum yang khusus; muhkam dan mutasyabih; muthlaq dan muqayad, nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.

       b.   Mengerti dan Memahami nasakh dan mansukh
اَلْعِلْمُ بِالْقُرْاَنِ نَاسخُهُ وَمَنْسُوْخَهُ
         Syarat ini telah disyaratkan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, sebagaimana ia mensyaratkan kemampuan berbahasa Arab. Persyaratan ini didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama syari’at yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang terkandung di dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan bahwa :
مَنْ جَمَعَهُ فَقَدْ جَمَعَ النُّبُوَّةِ

“Barangsiapa menguasai al-Quran, sesungguhnya ia telah membawa misi kenabian (nubuwwah).
Para ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid harus mengerti secara mendalam ayat-ayat yang membahas tentang hukum  yang terdapat dalam al-Quran yang jumlahnya kira-kira ada 500 ayat. pengetahuannya terhadap ayat-ayat tersebut harus mendalam sampai  pada yang khas dan ‘am serta takhshish yang datang dari as-Sunah. Demikian juga harus mengerti ayat-ayat yang dinasakh hukumnya berdasarkan teori bahwa pada ayat-ayat al-Quran itu terdapat ayat yang menasakh dan yang dinasakh. Dengan menguasai ayat-ayat hukum tersebut, seorang mujtahid juga harus mengerti meskipun secara global isi ayat-ayat yang lain merupakan suatu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu bagian dengan bagian yang lain. Sebagaimana Imam Asnawi mengatakan : Sesungguhnya untuk mengetahui perbedaan antara ayat-ayat hukum dengan ayat lainnya harus mengerti keseluruhannya.”
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh hadis-hadis lain.

      c.   Mengerti Sunnah (Hadits)
اَلْعِلْمُ بِالسُّنَّةِ
            Syarat ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama, bahwa seorang mujtahid  harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan), maupun taqririyah (ketetapan), minimal pada setiap pokok masalah (bidang) menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi pembidangannya. Menurut pendapat yang menolak adanya pembidangan dalam ijtihad, maka seorang mujtahid harus menguasai seluruh Sunnah yang mengandung hukum taklifi, dengan memahami isinya serta menangkap maksud hadits dan kondisi yang melatarbelakangi datangnya suatu hadits. Mujtahid juga harus mengetahui nasakh dan mansukh dalam Sunnah, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayadnya, takhshish dan yang umum. Demikian juga harus mengerti alur riwayat dan sanad hadits, kekuatan perawi Hadits, dalam arti mengetahui sifat dan keadaan perawi Hadits yang menyampaikan Hadits-hadits Rasulullah s.a.w.
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.

             d.   Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
مَعْرِفَةُ مَوَاضِعِ الاِجْمَاعِ وَمَوَاضِعِ الْخِلاَفِ
         Dengan mengetahui letak ijma’ yang telah disepakati para ulama salaf, maka seorang mujtahid diharuskan juga mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi di antara fuqaha, misalnya perbedaan pendapat serta metode antara ulama Fiqh di Madinah dan Ulama Fiqh di Irak. Dengan demikian, mujtahid secara rasional akan mampu membeda-bedakan antara pendapat yang shahih dengan yang tidak shahih, kaitan dekat atau jauhnya dengan sumber al-Quran dan hadits. Imam Syafi’i mewajibkan seorang mujtahid memiliki kemampuan demikian, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya ar-Risalah.
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.

      e.   Mengetahui Qiyas
مَعْرِفَةُ الْقِيَاسِ
          Imam syafi’i mengatakan, bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Bahkan, dia juga mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui perihal qiyas yang benar. Untuk itu, dia harus mengatahui hukum-hukum asal yang ditetapkan berdasar nash-nash sebagai sumber hukum tersebut, yang memungkinkan seorang mujtahid memilih hukum asal yang lebih dekat dengan obyek yang menjadi sasaran ijtihadnya.
Pengetahuan tentang qiyas demikian memerlukan mujtahid mengetahui tiga hal, yaitu:
  1. Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta ‘illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’ (Cabang).
  2. Mengetahui aturan – aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat ‘illatnya sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
  3. Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salafusshalih dalam mengetahui ‘illat-‘illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqh.
Sedangkan dalam Kitab Al-Bayan dijelaskan bahwa syarat ijtihad yaitu :
  1. Mengetahui dan memahami nash Al-Qur’an dan Hadits.
  2. Menguasai bahasa arab agar memungkinkan melakukan penafsiran terhadap teks
  3. Menguasai Ilmu Ushul Fiqh dan ilmu lainnya.
  4. Mengetahui ilmu nasakh dan mansukh.



BAB III
PENUTUP

a.      Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad merupakan sarana paling efektif untuk mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang sanggup menjawab tantangan zaman. Ijtihad akan berfungsi dan berdayaguna apabila ijthad dilakukan oleh para ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui kebenaran dan kesalahannya). Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya jika hal itu dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan peranan ijtihad. Islam akan mengalami kehancuran dan bencana serta malapetaka bagi umatnya jika ijtihad dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan. Untuk menggalakkan ijtihad agar menjadikan hukum Islam ini dinamis dan lincah perlu diadakannya studi fiqih perbandingan lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi. Maka dari itu, marilah kita menjadi mujtahid yang benar, mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran agama Islam.

b.      Daftar Pustaka

Sumber :


Tidak ada komentar:

Posting Komentar