KATA PENGANTAR
Bismillahirrohmanirrohim
Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas
limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah
tentang ”IJTIHAD DAN KETENTUAN-KETENTUANNYA” ini. Makalah ini merupakan tugas yang dibuat sebagai
bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan
kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para
sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.
Kami menyadari bahwa makalah ini
masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori,
keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan,
dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat
bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini
dapat bermanfat bagi kita semua,
khususnya bagi penulis sendiri.
Mojokerto , 26 September 2014
Penyusun
DAFTAR ISI
Kata Pengantar……………………………………………………………...1
Daftar Isi…………………………………………………………………….2
BAB
I
1.1
Latar Belakang………………………………………………………....3
1.2
Rumusan Masalah…………………………………………...................3
1.3
Tujuan………………………………………………………………….3
BAB
II
2.1
Pengertian Ijtihad……………………………………………………....4
2.2 Syarat-syarat ( Ketentuan-ketentuan ) Ijtihad…………………………..6
2.2 Syarat-syarat ( Ketentuan-ketentuan ) Ijtihad…………………………..6
2.3 Macam-macam atau tingkatan
mujtahid ……………………………......9
2.4
Contoh mujtahid……………………………………………………….9
BAB
III
3.1
Kesimpulan……………………………………………………………11
3.2
Saran………………………………………………………………….11
3.3
Daftar Pustaka………………………………………………………...11
BAB
I
PENDAHULUAN
1.
Latar Belakang
Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu:
Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum
yang ketiga berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas
ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian, tidak boleh
bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.
Al-Hafiz Jalaluddin as-Sayuthi (wafat 911 H) telah menuliskan risalahnya yang amat berharga dengan judul “Bantahan terhadap orang yang mengabadikan taklid di bumi dan tidak tahu bahwa ijtihad di setiap zaman adalah pardu”. Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa kebutuhan umat islam kepada ijtihad
merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru. Hal ini tidak berarti
bahwa kita menganggap remeh terhadap keagungan fiqh dari berbagai madzab,
melainkan meletakan fiqh pada proporsinya, bahwa fiqh hanyalah salah satu dari
beberapa bentuk produk pemikiran hukum islam. Dan karena sifatnya sebagai
produk pemikiran, maka fiqh tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian.
Disamping itu, sejarah menunjukan bahwa periode
formulatifnya, fiqh merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Ia
tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang
ada dalam Alquran da as-Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan
masyarakat waktu itu, merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana
ia tumbuh dan berkembang. Kondisi yang demikian ini, ditandai dengan munculnya
madzab yang mempunyai corak sendiri-sendiri. Berdasarkan kenyataan ini, ulama
terdahulu menetapkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena
perubahan waktu. Maka dapat dikatakan bahwa perubahan dan perkembangan
pemikiran hukum islam bukan saja di
benarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan.
2.
Rumusan
Masalah
Dalam makalah ini akan membahas mengenai ijtihad, dengan sub tema :
1.
Pengertian ijtihad
2.
Syarat-syarat mujtahid
3.
Macam-macam atau tingkatan mujtahid
4.
Contoh ijtihad
Diharapkan para pembaca dapat mengetahui substansi dari sub tema yang telah
disebutkan di atas yang akan di jelaskan dalam makalah ini.
3.
Tujuan
1.
Untuk mengetahui pengertian tentang
Ijtihad
2.
Untuk mengetahui kedudukan ijtihad
dalam hukum Islam
3.
Untuk mengetahui bentuk atau macam
Ijtihad
4.
Untuk mengetahui syarat-syarat
Mujtahid
BAB II
PEMBAHASAN
1.
Pengertian
Ijtihad
Ijtihad berasal dari kata
jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan.
Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala
perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad
secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan
kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara
istinbat (mengambil kesimpulan hukum. Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa
ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang
bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan
kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai
bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).
Imam
Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap
permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari
sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh
mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh
tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah
dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki
kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya
bisa menjadi pedoman bagi orang banyak. Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata
al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan
seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar
bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan
yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut
istilah.
Dalam
definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan
untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari
Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan
pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk
memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai
oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan
perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan,
serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa
rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di
medannya (majalul ijtihad).
Ijtihad secara maknawi adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan
dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.
الاِجْتِهَادُ مَعْنَاهُ بَذْلَ
غَايَةِ الجُهْدِ فِى الْوُصُوْلِ إلَى أَمَرٍ مِنَ الْعُمُوْرِ, أَو فِعْلٍ مِنَ
الأَفْعَالِ
Ijtihad menurut ulama Ushul adalah
usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk
menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang
terperinci.
بَذْلُ الْفَقِيْهُ وَسْعُهُ فِى
اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الْعَلَمِيَّةِ مِنْ أَدِلّتِهَا التَّفْصِيْلِيَةِ[1]
Ulama yang lain memberikan definisi
ijtihad adalah usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya, baik
dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya.
Demikian menurut ulama ahli Ushul.
اِسْتِفْرَاغُ
الْجُهْدِ وَبَذْلُ غَايَةِ الْوَسْعِ, إِمَّا فِى اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ
الشَّرْعِيَةِ وَإِمَّا فى تَطْبِيْقِهِمَا
Dari pengertian tentang ijtihad
sebagaimana disebutkan di atas, maka ijtihad mengandung dua faktor:
·
Ijtihad yang khusus untuk menetapkan
suatu hukum dan penjelasannya.
·
Ijtihad khusus untuk menerapkan dan
mengamalkan hokum
Ijtihad merupakan dinamika Islam
untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah “semangat rasionalitas Islam” dalam
rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak
masalah baru muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw.
Ijtihad diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan
kondisi.1
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber
ajaran Islam atau sumber hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan
As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud)
yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin
Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang
dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut
Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda
tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan
memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan
sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan
pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang
sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah
menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah
fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir
hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad
Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda
mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun
dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di
hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika
Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk
kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan
seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda
pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama
hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus
dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran
kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai
petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan
selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”
Dari kedua keterangan di atas, maka
dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum
sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah.
Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad?
2.
Syarat-syarat
(Ketentuan-ketentuan) Ijtihad
a. Menguasai bahasa Arab
اَلعِلِمُ بِالْعَرَبِيَّةِ
Ulama Ushul telah
menyepakati bahwa mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa Arab, karena
al-Quran diturunkan – sebagai sumber syari’at – dalam bahasa Arab. Demikian
juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Quran, juga tersusun
dengan bahasa Arab. Ulama Ushul juga telah bersepakat, bahwa mujtahid disyaratkan
harus menguasai bahasa Arab, karena al-Quran diturunkan – sebagai sumber
syari’at – dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi
sebagai penjelas dari al-Quran, juga tersusun dengan bahasa Arab.
Imam Ghazali
memberikan kriteri penguasaan bahasa Arab oleh seorang mujtahid, dengan
mengatakan: seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan
kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan
mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, dan
mujmal; hakekat dan majaz; yang umum yang khusus; muhkam dan
mutasyabih; muthlaq dan muqayad, nash serta mudah atau
tidaknya dalam pemahaman.
Kriteria
penguasaan bahasa Arab seorang mujtahid menurut Imam Ghazali adalah : seorang
mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang
berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia bisa
membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, dan mujmal; hakekat dan
majaz; yang umum yang khusus; muhkam dan mutasyabih; muthlaq dan
muqayad, nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
Seorang
mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek
kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini
tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa
Arab.
b. Mengerti dan Memahami nasakh dan mansukh
اَلْعِلْمُ بِالْقُرْاَنِ نَاسخُهُ
وَمَنْسُوْخَهُ
Syarat
ini telah disyaratkan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah,
sebagaimana ia mensyaratkan kemampuan berbahasa Arab. Persyaratan ini
didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama
syari’at yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang terkandung di
dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan bahwa “Barangsiapa
menguasai al-Quran, sesungguhnya ia telah membawa missi kenabian (nubuwwah). Persyaratan ini juga didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran
sebagai pedoman dan sumber utama syari’at yang bersifat abadi sampai hari
qiamat. Karena ilmu yang terkandung di dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu
Umar mengatakan bahwa :
مَنْ
جَمَعَهُ فَقَدْ جَمَعَ النُّبُوَّةِ
“Barangsiapa menguasai al-Quran,
sesungguhnya ia telah membawa misi kenabian (nubuwwah).
Para
ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid harus mengerti secara mendalam
ayat-ayat yang membahas tentang hukum yang terdapat dalam al-Quran yang
jumlahnya kira-kira ada 500 ayat. pengetahuannya terhadap ayat-ayat tersebut
harus mendalam sampai pada yang khas dan ‘am serta takhshish
yang datang dari as-Sunah. Demikian juga harus mengerti ayat-ayat yang dinasakh
hukumnya berdasarkan teori bahwa pada ayat-ayat al-Quran itu terdapat ayat [2]yang
menasakh dan yang dinasakh. Dengan menguasai ayat-ayat hukum
tersebut, seorang mujtahid juga harus mengerti meskipun secara global isi
ayat-ayat yang lain merupakan suatu kesatuan yang utuh yang tidak bisa
dipisah-pisahkan satu bagian dengan bagian yang lain. Sebagaimana Imam Asnawi
mengatakan : Sesungguhnya untuk mengetahui perbedaan antara ayat-ayat hukum
dengan ayat lainnya harus mengerti keseluruhannya.”2
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh
ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis
yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis
yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara
pasti oleh hadis-hadis lain.3
c. Mengerti Sunnah (Hadits)
اَلْعِلْمُ بِالسُّنَّةِ
Syarat
ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama, bahwa seorang mujtahid
harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah (perkataan), fi’liyah
(perbuatan), maupun taqririyah (ketetapan), minimal pada setiap pokok
masalah (bidang) menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi pembidangannya.
Menurut pendapat yang menolak adanya pembidangan dalam ijtihad, maka seorang
mujtahid harus menguasai seluruh Sunnah yang mengandung hukum taklifi,
dengan memahami isinya serta menangkap maksud hadits dan kondisi yang
melatarbelakangi datangnya suatu hadits. Mujtahid juga harus mengetahui nasakh
dan mansukh dalam Sunnah, ‘am dan khasnya, muthlaq dan
muqayadnya, takhshish dan yang umum. Demikian juga harus mengerti alur
riwayat dan sanad hadits, kekuatan perawi Hadits, dalam arti mengetahui sifat
dan keadaan perawi Hadits yang menyampaikan Hadits-hadits Rasulullah s.a.w.
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia
harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan
atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.4
d. Mengetahui letak ijma’ dan khilaf
مَعْرِفَةُ مَوَاضِعِ الاِجْمَاعِ وَمَوَاضِعِ
الْخِلاَفِ
Dengan
mengetahui letak ijma’ yang telah disepakati para ulama salaf, maka seorang
mujtahid diharuskan juga mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi
di antara fuqaha, misalnya perbedaan pendapat serta metode antara ulama Fiqh di
Madinah dan Ulama Fiqh di Irak. Dengan demikian, mujtahid secara rasional akan
mampu membeda-bedakan antara pendapat yang shahih dengan yang tidak shahih,
kaitan dekat atau jauhnya dengan sumber al-Quran dan hadits. Imam Syafi’i
mewajibkan seorang mujtahid memiliki kemampuan demikian, sebagaimana dijelaskan
dalam kitabnya ar-Risalah.
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui
hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus
memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui
nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut.
Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma’
para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.
e. Mengetahui Qiyas
مَعْرِفَةُ الْقِيَاسِ
Imam
syafi’i mengatakan, bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui
jalan-jalan qiyas. Bahkan, dia juga mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas
itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui perihal qiyas
yang benar. Untuk itu, dia harus mengatahui hukum-hukum asal yang ditetapkan
berdasar nash-nash sebagai sumber hukum tersebut, yang memungkinkan seorang
mujtahid memilih hukum asal yang lebih dekat dengan obyek yang menjadi sasaran
ijtihadnya.
Pengetahuan tentang qiyas demikian
memerlukan mujtahid mengetahui tiga hal, yaitu:
1.
Mengetahui seluruh nash yang menjadi
dasar hukum asal beserta ‘illatnya untuk dapat menghubungkan dengan
hukum furu’ (Cabang).
2.
Mengetahui aturan – aturan qiyas dan
batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa
meluas hukumnya, serta sifat-sifat ‘illatnya sebagai dasar qiyas dan
faktor yang menghubungkan dengan furu’.
3.
Mengetahui metode yang dipakai oleh
ulama salafusshalih dalam mengetahui ‘illat-‘illat hukum dan sifat-sifat
yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqh.
Sedangkan dalam Kitab Al-Bayan
dijelaskan bahwa syarat ijtihad yaitu :
1.
Mengetahui dan memahami nash Al-Qur’an
dan Hadits.
2.
Menguasai bahasa arab agar
memungkinkan melakukan penafsiran terhadap teks
3.
Menguasai Ilmu Ushul Fiqh dan ilmu
lainnya.
4.
Mengetahui ilmu nasakh dan mansukh.5
3.
Macam-macam atau
tingkatan mujtahid
Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang
memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid.
Namun, mereka membedakan derajat mujtahid ke dalam beberapa martabat dari
tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan mujtahid itu
adalah :
a)
Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali
hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya yang terpokok ( Alquran dan
Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum mujtahid mempunyai dasar-dasar istimbat
sendiri, tidak mengikuti istimbat orang lain. Mustahid mustaqil ini lazim
disebut dengan istilah mujtahid mutlak.
b)
Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam
mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul istimbat imam madzab tertentu,
walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda pendapat dengan imamnya.
c)
Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam
madzabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan
ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak dia
peroleh dari imam madzab yang di anutnya.
d)
Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak
mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal), akan tetapi dia hanya
membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah
satu pendapat yang di pandang paling kuat.
e)
Mujtahid Mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan
tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada, akan tetapi dia mengemukakan
dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang
(di ikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.6
4.
Contoh ijtihad
a.
Ketika keadaan umat Islam sibuk memerangi orang-orang
yang pada melalaikan membayar zakat, para qori’ banyak yang meninggal dunia dan
Umar khawatir Alquran akan hilang bersama kematian para penghafal Alquran. Maka
Abu bakar disarankan agar menulis dan mendewankan Alquran. Beliau menolak saran
itu dengan mengatakan : “apakah aku harus melakikan sesuatu yang tidak di
kerjakan oleh Rosulullah SAW?” lalu beliau mengutus menghadap Zaid bin
Tsabit dan mengemukakan saran Umar tersebut. Seperti halnya Abu Bakar, Zaid
pun menghindarinya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Abu Bakar.
Dalam pertemuan itu Umar mengemukakan alasan bahwa perbuatan seperti itu tidak
mengundang bahaya sedikitpun. Bahkan mengandung kebaikan bagi islam dan kaum
muslimin sendiri. Akhirnya terjadilah persepakatan dan terus di bentuk panitia
yang terdiri atas para penghafal Alquran yang terpercaya untuk melaksanakan
keputusan yang telah disepakati bersama.
b.
Dalam surat al-maidah: 38 Allah memerintahkan memotong
tangan pencuri perempuan dan laki-laki sebagai balasan atas tindakanya
menentang hukum Allah. Pada pemerintahan Umar pernah terjadi bahaya kelaparan,
sehingga banyak pencuri. Atas keadaan yang demikian itu Umar tidak menghukum
pencuri yang tertangkap dengan hukuman had. Karena beliau berpendapat bahwa
kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukuman tidak akan terealisir
beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan secara
tidak halal.
c.
Pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan,
kitab-kitab fiqh klasik tidak memberikan batasan umur untuk melakukan
perkawinan. Tetapi dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang
perkawinan KHI Pasal 15 Buku I Hukum perkawinan, secara jelas
mengatur umur perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun.
Ketentuan ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah
tangga.
d.
Suatu peristiwa di zaman Khalifah
Umar ibn Khattab, di mana para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa
besar cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di
negara Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci
dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya
berijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah
disamakan dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh
negara asing, di mana mereka berdagang.[3]
BAB III
PENUTUP
a.
Kesimpulan
Dari
pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad merupakan sarana paling
efektif untuk mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta
menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up
to date yang sanggup menjawab tantangan zaman. Ijtihad akan berfungsi dan
berdayaguna apabila ijthad dilakukan oleh para ahlinya (mereka yang memenuhi
persyaratan dan dilakukan pada tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah
diakui kebenaran dan kesalahannya). Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam
dan umatnya jika hal itu dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan dan
dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan peranan ijtihad. Islam
akan mengalami kehancuran dan bencana serta malapetaka bagi umatnya jika
ijtihad dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan. Untuk
menggalakkan ijtihad agar menjadikan hukum Islam ini dinamis dan lincah perlu
diadakannya studi fiqih perbandingan lembaga-lembaga pendidikan Islam,
khususnya perguruan tinggi. Maka dari itu, marilah kita menjadi mujtahid yang
benar, mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran agama Islam.
b.
Saran
Demikian makalah ijtihad dalam
mata kuliah yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini
merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan
kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan
kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!
c.
Daftar Pustaka
Zuhri, Moh. dan Qarib, Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang :
Toha Putra Group, 1994.
Yusdani, Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi, Yogyakarta
: UII PRESS, 2004.
Abdullah, Amin, “madzhab” Jogja, Yogyakarta : Ar-Ruzz
Press, 2002.
Sumber lain :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar