Jumat, 26 September 2014

Nama : Ahmad Fauzul Adhim Semester III



KATA PENGANTAR



Bismillahirrohmanirrohim

Puji dan syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga saya dapat menyelesaikan makalah tentang ”IJTIHAD DAN KETENTUAN-KETENTUANNYA” ini. Makalah  ini merupakan tugas yang dibuat sebagai bagian dalam memenuhi kriteria mata kuliah. Salam dan salawat kami kirimkan kepada junjungan kita tercinta Rasulullah Muhammad SAW, keluarga, para sahabatnya serta seluruh kaum muslimin yang tetap teguh dalam ajaran beliau.

Kami menyadari bahwa makalah ini masih ada kekurangan disebabkan oleh kedangkalan dalam memahami teori, keterbatasan keahlian, dana, dan tenaga penulis. Semoga segala bantuan, dorongan, dan petunjuk serta bimbingan yang telah diberikan kepada kami dapat bernilai ibadah di sisi Allah Subhana wa Taala. Akhir kata, semoga makalah ini dapat bermanfat  bagi kita semua, khususnya  bagi penulis sendiri.












Mojokerto , 26 September 2014





    Penyusun








DAFTAR ISI

Kata Pengantar……………………………………………………………...1

Daftar Isi…………………………………………………………………….2

BAB  I

1.1      Latar Belakang………………………………………………………....3         
                                                                                                               
1.2      Rumusan Masalah…………………………………………...................3
               
1.3      Tujuan………………………………………………………………….3

BAB  II

         2.1   Pengertian Ijtihad……………………………………………………....4 

2.2   Syarat-syarat ( Ketentuan-ketentuan ) Ijtihad…………………………..6
        
2.3   Macam-macam atau tingkatan mujtahid ……………………………......9
        
         2.4   Contoh mujtahid……………………………………………………….9
        
BAB  III

         3.1   Kesimpulan……………………………………………………………11
        
         3.2   Saran………………………………………………………………….11

3.3   Daftar Pustaka………………………………………………………...11
















BAB I
PENDAHULUAN

1.       Latar Belakang

Pada umumnya sumber hukum islam ada dua, yaitu: Al-Qur’an dan Hadist, namun ada juga yang disebut Ijtihad sebagai sumber hukum yang ketiga berfungsi untuk menetapkan suatu hukum yang tidak secara jelas ditetapkan dalam Al-Qur’an maupun Hadist. Namun demikian, tidak boleh bertentangan dengan isi kandungan Al-Quran dan Hadist.

Al-Hafiz Jalaluddin as-Sayuthi (wafat 911 H) telah menuliskan risalahnya yang amat berharga dengan judul “Bantahan terhadap orang yang mengabadikan taklid di bumi dan tidak tahu bahwa ijtihad di setiap zaman adalah pardu”. Ilustrasi di atas mengisyaratkan bahwa kebutuhan umat islam kepada ijtihad merupakan kebutuhan abadi selama masih ada kejadian baru. Hal ini tidak berarti bahwa kita menganggap remeh terhadap keagungan fiqh dari berbagai madzab, melainkan meletakan fiqh pada proporsinya, bahwa fiqh hanyalah salah satu dari beberapa bentuk produk pemikiran hukum islam. Dan karena sifatnya sebagai produk pemikiran, maka fiqh tidak boleh resisten terhadap pemikiran baru yang muncul kemudian.

Disamping itu, sejarah menunjukan bahwa periode formulatifnya, fiqh merupakan suatu kekuatan yang dinamis dan kreatif. Ia tumbuh dan berkembang sebagai hasil interpretasi terhadap prinsip-prinsip yang ada dalam Alquran da as-Sunnah sesuai dengan struktur dan konteks perkembangan masyarakat waktu itu, merupakan refleksi logis dari situasi dan kondisi di mana ia tumbuh dan berkembang. Kondisi yang demikian ini, ditandai dengan munculnya madzab yang mempunyai corak sendiri-sendiri. Berdasarkan kenyataan ini, ulama terdahulu menetapkan bahwa tidak dapat dipungkiri bahwa berubahnya hukum karena perubahan waktu. Maka dapat dikatakan bahwa perubahan dan perkembangan pemikiran hukum islam bukan saja di benarkan, tetapi merupakan suatu kebutuhan.

2.      Rumusan Masalah

Dalam makalah ini akan membahas mengenai ijtihad, dengan sub tema :

1.        Pengertian ijtihad
2.        Syarat-syarat mujtahid
3.        Macam-macam atau tingkatan mujtahid
4.        Contoh ijtihad

Diharapkan para pembaca dapat mengetahui substansi dari sub tema yang telah disebutkan di atas yang akan di jelaskan dalam makalah ini.

3.      Tujuan

1.      Untuk mengetahui pengertian tentang Ijtihad
2.      Untuk mengetahui kedudukan ijtihad dalam hukum Islam
3.      Untuk mengetahui bentuk atau macam Ijtihad
4.      Untuk mengetahui syarat-syarat Mujtahid


BAB II
PEMBAHASAN

1.      Pengertian Ijtihad

Ijtihad berasal dari kata jahada. Artinya mencurahkan segala kemampuan atau menanggung beban kesulitan. Menurut bahasa, ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan dalam segala perbuatan. Dalam ushul fiqh, para ulama ushul fiqh mendefinisikan ijtihad secara berbeda-beda. Misalnya Imam as-Syaukani mendefinisikan ijtihad adalah mencurahkan kemampuan guna mendapatkan hukum syara’ yang bersifat operasional dengan cara istinbat (mengambil kesimpulan hukum. Sementara Imam al-Amidi mengatakan bahwa ijtihad adalah mencurahkan semua kemampuan untuk mencari hukum syara’ yang bersifat dhonni, sampai merasa dirinya tidak mampu untuk mencari tambahan kemampuannya itu. Sedangkan imam al-Ghazali menjadikan batasan tersebut sebagai bagian dari definisi al-ijtihad attaam (ijtihad sempurna).

Imam Syafi’I menegaskan bahwa seseorang tidak boleh mengatakan tidak tahu terhadap permasalahan apabila ia belum melakukan dengan sungguh-sungguh dalam mencari sumber hukum dalam permasalahan tersebut. Demikian juga, ia tidak boleh mengatakan tahu sebelum ia sungguh-sungguh menggali sumber hukum dengan sepenuh tenaga. Imam Syafi-I hendak menyimpulkan bahwa dalam berijtihad hendaklah dilakukan dengan sungguh-sungguh. Artinya, mujtahid juga harus memiliki kemampuan dari berbagai aspek criteria seorang mujtahid agar hasil ijtihadnya bisa menjadi pedoman bagi orang banyak. Ahli ushul fiqh menambahkan kata-kata al-faqih dalam definisi tersebut sehingga definisi ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuannya. Sehingga Imam Syaukani memberi komentar bahwa penambahan faqih tersebut merupakan suatu keharusan. Sebab pencurahan yang dilakukan oleh orang yang bukan faqih tidak disebut ijtihad menurut istilah.

Dalam definisi lain, dikatakan bahwa ijtihad yaitu mencurahkan seluruh kemampuan untuk menetapkan hukum syara’ dengan jalan istinbat (mengeluarkan hukum) dari Kitabullah dan Sunah Rasul. Menurut kelompok mayoritas, ijtihad merupakan pengerahan segenap kesanggupan dari seorang ahli fiqih atau mujtahid untuk memperoleh pengertian terhadap sesuatu hukum syara’. Jadi, yang ingin dicapai oleh ijtihad yaitu hukum Islam yang berhubungan dengan tingkah laku dan perbuatan orang-orang dewasa. Ulama telah bersepakat bahwa ijtihad dibenarkan, serta perbedaan yang terjadi sebagai akibat ijtihad ditolerir, dan akan membawa rahmat saat ijtihad dilakukan oleh yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di medannya (majalul ijtihad).

Ijtihad secara maknawi adalah upaya mengerahkan seluruh kemampuan dan potensi untuk sampai pada suatu perkara atau perbuatan.

الاِجْتِهَادُ مَعْنَاهُ بَذْلَ غَايَةِ الجُهْدِ فِى الْوُصُوْلِ إلَى أَمَرٍ مِنَ الْعُمُوْرِ, أَو فِعْلٍ مِنَ الأَفْعَالِ

Ijtihad menurut ulama Ushul adalah usaha seorang yang ahli fiqh yang menggunakan seluruh kemampuannya untuk menggali hukum yang bersifat amaliyah (praktis) dari dalil-dalil yang terperinci.

بَذْلُ الْفَقِيْهُ وَسْعُهُ فِى اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الْعَلَمِيَّةِ مِنْ أَدِلّتِهَا التَّفْصِيْلِيَةِ[1]

Ulama yang lain memberikan definisi ijtihad adalah usaha mengerahkan seluruh tenaga dan segenap kemampuannya, baik dalam menetapkan hukum-hukum syara’ maupun untuk mengamalkan dan menerapkannya. Demikian menurut ulama ahli Ushul.

اِسْتِفْرَاغُ الْجُهْدِ وَبَذْلُ غَايَةِ الْوَسْعِ, إِمَّا فِى اِسْتِنْبَاطِ الأَحْكَامِ الشَّرْعِيَةِ وَإِمَّا فى تَطْبِيْقِهِمَا

Dari pengertian tentang ijtihad sebagaimana disebutkan di atas, maka ijtihad mengandung dua faktor:
·        Ijtihad yang khusus untuk menetapkan suatu hukum dan penjelasannya.
·        Ijtihad khusus untuk menerapkan dan mengamalkan hokum

Ijtihad merupakan dinamika Islam untuk menjawab tantangan zaman. Ia adalah “semangat rasionalitas Islam” dalam rangka hidup dan kehidupan modern yang kian kompleks permasalahannya. Banyak masalah baru muncul dan tidak pernah ada semasa hayat Nabi Muhammad Saw.  Ijtihad diperlukan untuk merealisasikan ajaran Islam dalam segala situasi dan kondisi.1
Kedudukan Ijtihad sebagai sumber ajaran Islam atau sumber  hukum Islam ketiga setelah Al-Quran dan As-Sunnah, diindikasikan oleh sebuah Hadits (Riwayat Tirmidzi dan Abu Daud) yang berisi dialog atau tanya jawab antara Nabi Muhammad Saw dan Mu’adz bin Jabal yang diangkat sebagai Gubernur Yaman.
“Bagaimana memutuskan perkara yang dibawa orang kepada Anda?”
“Hamba akan memutuskan menurut Kitabullah (Al-Quran.”
“Dan jika di dalam Kitabullah Anda tidak menemukan sesuatu mengenai soal itu?”
“Jika begitu, hamba akan memutuskannya menurut Sunnah Rasulillah.”
“Dan jika Anda tidak menemukan sesuatu mengenai hal itu dalam Sunnah Rasulullah?”
“Hamba akan mempergunakan pertimbangan akal pikiran sendiri (Ijtihadu bi ra’yi) tanpa bimbang sedikit pun.”
“Segala puji bagi Allah yang telah menyebabkan utusan Rasulnya menyenangkan hati Rasulullah!”
Hadits tersebut diperkuat sebuah fragmen peristiwa yang terjadi saat-saat Nabi Muhammad Saw menghadapi akhir hayatnya. Ketika itu terjadi dialog antara seorang sahabat dengan Nabi Muhammad Saw.
“Ya Rasulallah! Anda sakit. Anda mungkin akan wafat. Bagaimana kami jadinya?”
“Kamu punya Al-Quran!”
“Ya Rasulallah! Tetapi walaupun dengan Kitab yang membawa penerangan dan petunjuk tidak menyesatkan itu di hadapan kami, sering kami harus meminta nasihat, petunjuk, dan ajaran, dan jika Anda telah pergi dari kami, Ya Rasulallah, siapakah yang akan menjadi petunjuk kami?”
“Berbuatlah seperti aku berbuat dan seperti aku katakan!”
“Tetapi Rasulullah, setelah Anda pergi peristiwa-peristiwa baru mungkin timbul yang tidak dapat timbul selama hidup Anda. Kalau demikian, apa yang harus kami lakukan dan apa yang harus dilakukan orang-orang sesudah kami?”
“Allah telah memberikan kesadaran kepada setiap manusia sebagai alat setiap orang dan akal sebagai petunjuk. Maka gunakanlah keduanya dan tinjaulah sesuatu dan rahmat Allah akan selalu membimbing kamu ke jalan yang lurus!”
Dari kedua keterangan di atas, maka dapat dikatakan bahwa Ijtihad adalah “sarana ilmiah” untuk menetapkan hukum sebuah perkara yang tidak secara tegas ditetapkan Al-Quran dan As-Sunnah. Persoalannya sekarang, siapa yang berhak melakukan Ijtihad?


2.      Syarat-syarat (Ketentuan-ketentuan) Ijtihad

a.      Menguasai bahasa Arab

 اَلعِلِمُ بِالْعَرَبِيَّةِ

Ulama Ushul telah menyepakati bahwa mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa Arab, karena al-Quran diturunkan – sebagai sumber syari’at – dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Quran, juga tersusun dengan bahasa Arab. Ulama Ushul juga  telah bersepakat, bahwa mujtahid disyaratkan harus menguasai bahasa Arab, karena al-Quran diturunkan – sebagai sumber syari’at – dalam bahasa Arab. Demikian juga dengan Sunnah yang berfungsi sebagai penjelas dari al-Quran, juga tersusun dengan bahasa Arab.
Imam Ghazali memberikan kriteri penguasaan bahasa Arab oleh seorang mujtahid, dengan mengatakan: seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, dan mujmal; hakekat dan majaz; yang umum yang khusus; muhkam dan mutasyabih; muthlaq dan muqayad, nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
Kriteria penguasaan bahasa Arab seorang mujtahid menurut Imam Ghazali adalah : seorang mujtahid harus mampu memahami ucapan orang Arab dan kebiasaan-kebiasaan yang berlaku dalam pemakaian bahasa Arab di kalangan mereka. Sehingga ia bisa membedakan antara ucapan yang sharih, zhahir, dan mujmal; hakekat dan majaz; yang umum yang khusus; muhkam dan mutasyabih; muthlaq dan muqayad, nash serta mudah atau tidaknya dalam pemahaman.
Seorang mujtahid wajib mengetahui bahasa Arab dalam rangka agar penguasaannya pada objek kajian lebih mendalam, teks otoritatif Islam menggunakan bahasa Arab. Hal ini tidak lepas dari bahwa teks otoritatif Islam itu diturunkan menggunakan bahasa Arab.


b.      Mengerti dan Memahami nasakh dan mansukh  

اَلْعِلْمُ بِالْقُرْاَنِ نَاسخُهُ وَمَنْسُوْخَهُ

Syarat ini telah disyaratkan oleh imam Syafi’i dalam kitabnya ar-Risalah, sebagaimana ia mensyaratkan kemampuan berbahasa Arab. Persyaratan ini didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama syari’at yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang terkandung di dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan bahwa “Barangsiapa menguasai al-Quran, sesungguhnya ia telah membawa missi kenabian (nubuwwah). Persyaratan ini juga  didasarkan kepada kedudukan dan nilai al-Quran sebagai pedoman dan sumber utama syari’at yang bersifat abadi sampai hari qiamat. Karena ilmu yang terkandung di dalamnya begitu luas, sampai-sampai Ibnu Umar mengatakan bahwa :

مَنْ جَمَعَهُ فَقَدْ جَمَعَ النُّبُوَّةِ

“Barangsiapa menguasai al-Quran, sesungguhnya ia telah membawa misi kenabian (nubuwwah).

Para ulama berpendapat bahwa seorang mujtahid harus mengerti secara mendalam ayat-ayat yang membahas tentang hukum  yang terdapat dalam al-Quran yang jumlahnya kira-kira ada 500 ayat. pengetahuannya terhadap ayat-ayat tersebut harus mendalam sampai  pada yang khas dan ‘am serta takhshish yang datang dari as-Sunah. Demikian juga harus mengerti ayat-ayat yang dinasakh hukumnya berdasarkan teori bahwa pada ayat-ayat al-Quran itu terdapat ayat [2]yang menasakh dan yang dinasakh. Dengan menguasai ayat-ayat hukum tersebut, seorang mujtahid juga harus mengerti meskipun secara global isi ayat-ayat yang lain merupakan suatu kesatuan yang utuh yang tidak bisa dipisah-pisahkan satu bagian dengan bagian yang lain. Sebagaimana Imam Asnawi mengatakan : Sesungguhnya untuk mengetahui perbedaan antara ayat-ayat hukum dengan ayat lainnya harus mengerti keseluruhannya.”2
Mengetahui hadis yang nasikh dan mansukh ini dimaksudkan agar seorang mujtahid jangan sampai berpegang pada suatu hadis yang sudah jelas dihapus hukumnya dan tidak boleh dipergunakan. Seperti hadis yang membolehkan nikah mut’ah di mana hadis tersebut sudah dinasakh secara pasti oleh hadis-hadis lain.3

c.       Mengerti Sunnah (Hadits)

اَلْعِلْمُ بِالسُّنَّةِ

Syarat ini telah disepakati secara bulat oleh para ulama, bahwa seorang mujtahid  harus mengerti betul tentang sunnah, baik qauliyah (perkataan), fi’liyah (perbuatan), maupun taqririyah (ketetapan), minimal pada setiap pokok masalah (bidang) menurut pendapat bahwa ijtihad itu bisa dibagi pembidangannya. Menurut pendapat yang menolak adanya pembidangan dalam ijtihad, maka seorang mujtahid harus menguasai seluruh Sunnah yang mengandung hukum taklifi, dengan memahami isinya serta menangkap maksud hadits dan kondisi yang melatarbelakangi datangnya suatu hadits. Mujtahid juga harus mengetahui nasakh dan mansukh dalam Sunnah, ‘am dan khasnya, muthlaq dan muqayadnya, takhshish dan yang umum. Demikian juga harus mengerti alur riwayat dan sanad hadits, kekuatan perawi Hadits, dalam arti mengetahui sifat dan keadaan perawi Hadits yang menyampaikan Hadits-hadits Rasulullah s.a.w.
Syarat mujtahid selanjutnya adalah ia harus mengetahui as-Sunnah. Yang dimaksudkan as-Sunnah adalah ucapan, perbuatan atau ketentuan yang diriwayatkan dari Nabi SAW.4


d.      Mengetahui letak ijma’ dan khilaf

مَعْرِفَةُ مَوَاضِعِ الاِجْمَاعِ وَمَوَاضِعِ الْخِلاَفِ

Dengan mengetahui letak ijma’ yang telah disepakati para ulama salaf, maka seorang mujtahid diharuskan juga mengetahui ikhtilaf (perbedaan pendapat) yang terjadi di antara fuqaha, misalnya perbedaan pendapat serta metode antara ulama Fiqh di Madinah dan Ulama Fiqh di Irak. Dengan demikian, mujtahid secara rasional akan mampu membeda-bedakan antara pendapat yang shahih dengan yang tidak shahih, kaitan dekat atau jauhnya dengan sumber al-Quran dan hadits. Imam Syafi’i mewajibkan seorang mujtahid memiliki kemampuan demikian, sebagaimana dijelaskan dalam kitabnya ar-Risalah.
Bagi seorang mujtahid, harus mengetahui hukum-hukum yang telah disepakati oleh para ulama, sehingga tidak terjerumus memberi fatwa yang bertentangan dengan hasil ijma’. Sebagaimana ia harus mengetahui nash-nash dalil guna menghindari fatwa yang berseberangan dengan nash tersebut. Namun menurut hemat penulis, seorang mujtahid bisa bertentangan dengan ijma’ para ulama selama hasil ijtihadnya maslahat bagi manusia.

e.       Mengetahui Qiyas

مَعْرِفَةُ الْقِيَاسِ

Imam syafi’i mengatakan, bahwa ijtihad itu sesungguhnya adalah mengetahui jalan-jalan qiyas. Bahkan, dia juga mengatakan bahwa ijtihad itu adalah qiyas itu sendiri. Oleh sebab itu, seorang mujtahid harus mengetahui perihal qiyas yang benar. Untuk itu, dia harus mengatahui hukum-hukum asal yang ditetapkan berdasar nash-nash sebagai sumber hukum tersebut, yang memungkinkan seorang mujtahid memilih hukum asal yang lebih dekat dengan obyek yang menjadi sasaran ijtihadnya.

Pengetahuan tentang qiyas demikian memerlukan mujtahid mengetahui tiga hal, yaitu:

1.      Mengetahui seluruh nash yang menjadi dasar hukum asal beserta ‘illatnya untuk dapat menghubungkan dengan hukum furu’ (Cabang).
2.      Mengetahui aturan – aturan qiyas dan batas-batasnya, seperti tidak boleh mengqiyaskan dengan sesuatu yang tidak bisa meluas hukumnya, serta sifat-sifat ‘illatnya sebagai dasar qiyas dan faktor yang menghubungkan dengan furu’.
3.      Mengetahui metode yang dipakai oleh ulama salafusshalih dalam mengetahui ‘illat-‘illat hukum dan sifat-sifat yang dipandang sebagai prinsip penetapan dan penggalian hukum fiqh.

Sedangkan dalam Kitab Al-Bayan dijelaskan bahwa syarat ijtihad yaitu :

1.      Mengetahui dan memahami nash Al-Qur’an dan Hadits.
2.      Menguasai bahasa arab agar memungkinkan melakukan penafsiran terhadap teks
3.      Menguasai Ilmu Ushul Fiqh dan ilmu lainnya.
4.      Mengetahui ilmu nasakh dan mansukh.5

3.      Macam-macam atau tingkatan mujtahid

Menurut sarjana ushul fiqh, hanya orang-orang yang memenuhi syarat-syarat tersebut yang berhak menyandang predikat mujtahid. Namun, mereka membedakan derajat mujtahid ke dalam beberapa martabat dari tingkatan tertinggi sampai tingkatan terendah. Beberapa tingkatan mujtahid itu adalah :

a)      Mujtahid Mustaqil, yaitu mujtahid yang mampu menggali hukum-hukum syari’at langsung dari sumbernya yang terpokok ( Alquran dan Sunnah) dan dalam mengistimbatkan hukum mujtahid mempunyai dasar-dasar istimbat sendiri, tidak mengikuti istimbat orang lain. Mustahid mustaqil ini lazim disebut dengan istilah mujtahid mutlak.

b)      Mujtahid Muntasib, yaitu mujtahid yang dalam mengistimbatkan hukum mengikuti (memilih) ushul istimbat imam madzab tertentu, walaupun dalam masalah-masalah furu’ dia berbeda pendapat dengan imamnya.


c)      Mujtahid Madzab, yaitu mujtahid yang mengikuti imam madzabnya baik dalam masalah ushul maupun furu’. Kalaupun dia melakukan ijtihad, ijtihadnya terbatas dalam masalah yang ketentuan hukumnya tidak dia peroleh dari imam madzab yang di anutnya.

d)     Mujtahid Murajjih, yaitu mujtahid yang tidak mengistimbatkan hukum-hukum furu’ (apalagi hukum asal), akan tetapi dia hanya membandingkan beberapa pendapat mujtahid yang ada untuk kemudian memilih salah satu pendapat yang di pandang paling kuat.


e)      Mujtahid Mustadil, yaitu ulama yang tidak melakukan tarjih terhadap pendapat-pendapat yang ada, akan tetapi dia mengemukakan dalil-dalil berbagai pendapat tersebut dan menerangkan mana yang patut dipegang (di ikuti) tanpa melakukan tarjih terlebih dahulu.6


4.      Contoh ijtihad

a.       Ketika keadaan umat Islam sibuk memerangi orang-orang yang pada melalaikan membayar zakat, para qori’ banyak yang meninggal dunia dan Umar khawatir Alquran akan hilang bersama kematian para penghafal Alquran. Maka Abu bakar disarankan agar menulis dan mendewankan Alquran. Beliau menolak saran itu dengan mengatakan : “apakah aku harus melakikan sesuatu yang tidak di kerjakan oleh Rosulullah SAW?” lalu beliau mengutus menghadap Zaid bin Tsabit dan mengemukakan saran Umar tersebut. Seperti halnya Abu Bakar, Zaid pun menghindarinya dan mengatakan seperti apa yang dikatakan oleh Abu Bakar. Dalam pertemuan itu Umar mengemukakan alasan bahwa perbuatan seperti itu tidak mengundang bahaya sedikitpun. Bahkan mengandung kebaikan bagi islam dan kaum muslimin sendiri. Akhirnya terjadilah persepakatan dan terus di bentuk panitia yang terdiri atas para penghafal Alquran yang terpercaya untuk melaksanakan keputusan yang telah disepakati bersama.

b.      Dalam surat al-maidah: 38 Allah memerintahkan memotong tangan pencuri perempuan dan laki-laki sebagai balasan atas tindakanya menentang hukum Allah. Pada pemerintahan Umar pernah terjadi bahaya kelaparan, sehingga banyak pencuri. Atas keadaan yang demikian itu Umar tidak menghukum pencuri yang tertangkap dengan hukuman had. Karena beliau berpendapat bahwa kemaslahatan yang diharapkan akibat pemberian hukuman tidak akan terealisir beserta adanya bencana kelaparan yang menyeret manusia kepada makan secara tidak halal.

c.       Pembatasan umur untuk melangsungkan perkawinan, kitab-kitab fiqh klasik tidak memberikan batasan umur untuk melakukan perkawinan. Tetapi dalam pasal 7 UU No. 1 Tahun 1974 tentang perkawinan  KHI Pasal 15 Buku I Hukum perkawinan, secara jelas mengatur umur perkawinan untuk laki-laki 19 tahun dan perempuan 16 tahun. Ketentuan ini didasarkan atas pertimbangan kemaslahatan keluarga dan rumah tangga.


d.      Suatu peristiwa di zaman Khalifah Umar ibn Khattab, di mana para pedagang Muslim bertanya kepada Khalifah berapa besar cukai yang harus dikenakan kepada para pedagang asing yang berdagang di negara Khalifah. Jawaban dari pertanyaan ini belum dimuat secara terperinci dalam Al-Quran maupun hadis, maka Khalifa Umar ibn Khattab selanjutnya berijtihad dengan menetapkan bahwa cukai yang dibayarkan oleh pedagang adalah disamakan dengan taraf yang biasanya dikenakan kepada para pedagang Muslim oleh negara asing, di mana mereka berdagang.[3]

















BAB III
PENUTUP

a.      Kesimpulan

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa ijtihad merupakan sarana paling efektif untuk mendukung tetap tegak dan eksisnya hukum Islam serta menjadikannya sebagai tatanan hidup yang up to date yang sanggup menjawab tantangan zaman. Ijtihad akan berfungsi dan berdayaguna apabila ijthad dilakukan oleh para ahlinya (mereka yang memenuhi persyaratan dan dilakukan pada tempatnya sesuai dengan ketentuan yang telah diakui kebenaran dan kesalahannya). Ijtihad akan membawa kejayaan bagi Islam dan umatnya jika hal itu dilakukan oleh orang yang memenuhi persyaratan dan dilakukan di tempat-tempat yang diperbolehkan memainkan peranan ijtihad. Islam akan mengalami kehancuran dan bencana serta malapetaka bagi umatnya jika ijtihad dilakukan oleh orang yang tidak memenuhi persyaratan. Untuk menggalakkan ijtihad agar menjadikan hukum Islam ini dinamis dan lincah perlu diadakannya studi fiqih perbandingan lembaga-lembaga pendidikan Islam, khususnya perguruan tinggi. Maka dari itu, marilah kita menjadi mujtahid yang benar, mempunyai komitmen yang utuh terhadap ajaran agama Islam.


b.      Saran
Demikian makalah ijtihad dalam mata kuliah yang tentunya masih jauh dari kesempurnaan. Kami sadar bahwa ini merupakan proses dalam menempuh pembelajaran, untuk itu kami mengharapkan kritik serta saran yang membangun demi kesempurnaan hasil diskusi kami. Harapan kami semoga dapat dijadikan suatu ilmu yang bermanfaat bagi kita semua. Amin!

c.       Daftar Pustaka

Zuhri, Moh. dan Qarib, Ahmad, Ilmu Ushul Fiqh, Semarang : Toha Putra Group, 1994.
Yusdani, Amir Mu’allim, Ijtihad dan Legislasi, Yogyakarta : UII PRESS, 2004.
Abdullah, Amin, “madzhab” Jogja, Yogyakarta : Ar-Ruzz Press, 2002.

Sumber lain :







[1] . Abu Zahrah , Ushul Fiqh, Darul Fikr Araby hal 35
[2]  Abdul Hamid Hakim, Al-Bayan Juz II. Hal 56
3.  Ibid hal 57
4. Ibid hal 58
5.  Abu Zahrah , Ushul Fiqh, Darul Fikr Araby hal 34
6. . Ibid. hal 35
7.  Ibid. hal 35
8.  Ibid. hal 36

Tidak ada komentar:

Posting Komentar