Jumat, 17 Oktober 2014

Ushul Fiqh Sunnah Sebagai Sumber Islam



MAKALAH
USHUL FIQH
https://encrypted-tbn3.gstatic.com/images?q=tbn:ANd9GcSrXuwWNhjIMl7qN2ipwYRlryYGES1_PAeqfhm0KRStb0VwjGcf_w “ Sunnah Sebagai Sumber Hukum Islam”






Dosen Pembimbing     : Bpk. Fulka Sa’dibih S.Hi, M.Pd.i
Nama Mahasiswa         : Riska Rikarna Diana



SEKOLAH TINGGI ILMU TARBIYAH
(STIT) Uluwiyah Mojosari Mojokerto Jawa Timur Indonesia
Jln. Mojosari Mojokerto KM.4 Mojokerto (0321-592783)
BAB I
PENDAHULUAN

a.      Latar Belakang Masalah

Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits. Namun, kita juga perlu mengetahui sejauh mana kedudukan hadist sebagai sumber hukum. Untuk lebih jelasnya mengenai kedudukan hadist sebagai sumber hukum akan dijelaskan pada bab berikutnya.

b.      Perumusan Masalah
Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan dalam tradisi hukum Islam, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan keizinan Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir). Akan tetapi para ulama Ushul Fiqh, membatasi pengertian hadits hanya pada ”ucapan-ucapan Nabi Muhammad SAW yang berkaitan dengan hukum”, sedangkan bila mencakup, pula perbuatan dan taqrir yang berkaitan dengan hukum, maka ketiga hal ini mereka namai dengan ”Sunnah”.
Ditinjau dari pengertian-pengertian di atas, menarik dibicarakan tentang kedudukan Hadits dalam Islam. Seperti yang kita ketahui, bahwa al-Qur’an merupakan sumber hukum primer/utama dalam Islam. Akan tetapi dalam realitasnya, ada beberapa hal atau perkara yang sedikit sekali al-Qur’an membicarakanya, atau al-Qur’an membicarakan secara global saja, atau bahkan tidak dibicarakan sama sekali dalam al-Qur’an. Nah jalan keluar untuk memperjelas dan merinci keumuman al-Qur’an tersebut, maka diperlukan al-Hadits/As-Sunnah. Di sinilah peran dan kedudukan Hadits sebagai tabyin atau penjelas dari al-Qur’an atau bahkan menjadi sumber hukum sekunder/kedua setelah al-Qur’an.
Untuk memudahkan pembahasan, maka dirumuskan permasalahan dalam pembahasan ini sebagai berikut:
Pertama, bagaimana peran dan kedudukan hadits?
Kedua, memilki fungsi apa dalam hubungan al-Qur’an dan as-Sunah?
Ketiga, apakah as-Sunah dapat berdiri sendiri dalam menentukan hukum tanpa disinggung al-Qur’an?
Keempat, apakah semua perbuatan Nabi Muhammad dapat berfungsi sebagai sumber hukum yang harus diikuti oleh setiap umat islam?.

c.       Pembatasan Masalah
Dalam penyusunan makalah ini yang berjudul: “Hadits sebagai Sumber Ajaran Islam” penulis hanya menguraikan masalah ini secara global saja, maka dalam penguraiannya penuis hanya dapat membatasi masalah yang akan diterangkan sebagai berikut:
1.     Dasar Alasan Sunnah Sebagai Sumber Hukum
2.      Hubungan Al-Hadits/AS-Sunnah Dengan Al-Qur’an
3.      Dapatkah As-Sunnah Berdiri Sendiri Dalam Menentukan Hukum
4.      Apakah Semua Perbuatan Nabi Muhammad SAW Dapat Berfungsi Sebagai Sumber Hukum,
       Yang Harus Diikuti Oleh Setiap Muslim,
















BAB II
PEMBAHASAN
KEDUDUKAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM ISLAM

1.      KEDUDUKAN HADIST SEBAGAI SUMBER HUKUM
Sunnah adalah sumber hukum Islam (pedoman hidup kaum Muslimin) yang kedua setelah Al-Qur’an. Bagi mereka yang telah beriman terhadap Al-Qur’an sebagai sumber hukum Islam, maka secara otomatis harus percaya bahwa Sunnah juga merupakan sumber hukum Islam. Bagi mereka yang menolak kebenaran Sunnah sebagai sumber hukum Islam, bukan saja memperoleh dosa, tetapi juga murtad hukumnya. Ayat-ayat Al-Qur’an sendiri telah cukup menjadi alasan yang pasti tentang kebenaran Al-Hadits, ini sebagai sumber hukum Islam.
Untuk mengetahui sejauh mana kedudukan hadist sebagai sumber hukum Islam, dapat dilihat dalam beberapa dalil seperti dibawah ini :

a.      Al – Qur’an
Banyak ayat Al – Qur’an yang menerangkan memparcayai dan menerima segala sesuatu yang disampaikan oleh Rasulullah SAW. Kepada umatnya untuk dijadikan pedoman hidup. Diantaranya adalah : Ali Imran yang artinya “Allah sekali-kali tidak akan membiarkan orang-orang mukmin seperti keadaan kamu sekarang ini, sehingga Dia memisahkan yang buruk (munafik) dari yang baik (mukmin). Dan Allah sekali-kali tidak akan memperlihatkan kepada kamu hal-hal yang gaib, akan tetapi, Allah akan memilih siapa yang dikehendaki-Nya diantara Rasul-Rasulnya. Karena itu, berimanlah kepada Allah dan Rasul-Rasul-Nya dan jika kamu beriman dan bertaqwa, maka bagimu pahala yang besar.”
Dalam surat An-Nisa ayat 136 Allah SWT. Berfirman, yang artinya sebagai berikut “Wahai orang-orang yang beriman, tetaplah beriman kepada Allah dan Rasul-Nya dan kepada kitab yang allah turunkan kepada Rasul-Nya, serta Kitab yang Allah turunkan sebelumnya. Bagi siapa yang kafir kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Rasul-Rasulnya, dan hari kemudian, maka sesungguhnya orang itu telah sesat sejauh-jauhnya”.

Dalam surat Ali Imran diatas, Allah memisahkan antara orang-orang mukmin dengan orang-orang yang munafik. Dia juga akan memperbaiki keadaan orang-orang mukmin dan memperkuat iman mereka. Oleh karena itu, orang mukmin dituntut agar tetap beriman kepada Allah SWT. Dan Rasul-Nya.
Pada surat An-Nisa ayat 136, sebagaimana halnya pada surat Ali Imran ayat 179, Allah menyeru kaum muslimin agar beriman kepada Allah, Rasul-Nya (Muhammad SAW), Alqur’an, dan kitab yang diturunkan sebelumnya. Kemudian pada akhir ayat, Allah SWT. Mengancam orang-orang yang mengingkari seruan-Nya.
Selain memerintahkan umatr Islam agar percaya kepada Rasulullah SAW, Allah juga menyerukan agar umat-Nya menaati segala bentuk perundang-undangan dan peraturan yang dibawanya, baik berupa perintah maupun larangan, Tuntutan taat dan patuh kepada Rasulullah SAW.

b.      Dalil Al-Hadist
Dalam salah satu pesan Rasulullah SAW. Berkenaan dengan kewajiban menjadikan hadist sebagai pedoman hidup di samping Al- Qur’an sebagai pedoman utamanya, adalah dalam sabdanya :
Artinya :
“Aku tinggalkan dua pusaka untukmu sekalian, dan kalian tidak akan tersesat selama-lamanya, selama kalian selalu berpegang teguh kepada keduanya, yaitu kitab Allah dan Sunah Rasul-Nya.” (H.R Hakim)
Hadist tersebut diatas, menunjukan kepada kita bahwa berpegang teguh kepada hadist atau menjadikan hadist, sebagai pegangan dan pedoman hidup adalah wajib, sebagaimana wajibnya berpegang teguh kepada Al-Qur’an.

c.       Kesepakatan Ulama (Ijma’)
Umat Islam telah sepakat menjadikan Hadist sebagai salah satu dasar hukum dalam amal perbuatan karena sesuai dengan yang dikehendakinya oleh Allah. Penerimaan hadist sama seperti penerimaan mereka terhadap Al-Qur’an, karena keduanya sama-sama merupakan sumber hukum Islam.

Kesepakatan umat muslimin dalam mempercayai, menerima, dan mengamalkan segala ketentuan yang terkandung didalam hadist telah dilakukan sejak masa Rasulullah, sepeninggal beliau, masa Khulafaur Ar-Rasyidin hingga masa-masa selanjutnya dan tidak ada yang mengingkarinya. Banyak di antara mereka yang tidak hanya memahami dan mengamalkan isi kandunganya, tetapi menyebarluaskanya kepada generasi-generasi selanjutnya.
Banyak peristiwa menunjukan adanya kesepakatan menggunakan hadist sebagai sumber hukum Islam, antara lain dalam peristiwa dibawah ini:
1.       Ketika Abu Bakar menjadi Khalifah, ia pernah berkata, “Saya tidak meninggalkan sedikitpun sesuatu yang diamalkan oleh Rasulullah, sesungguhnya saya takut tersesat bila meninggalkan perintahnya”.
2.       Saat Umar berada di depan Hajar Aswad ia berkata, Saya tahu bahwa engkau adalah batu. Seandainya saya tidak melihat Rasulullah menciumu, saya tidak akan menciumu.”
3.      Pernah ditanyakan kepada Abdullah bin Umar tentang ketentuan shalat safar dalam Al-Qur’an. Ibnu Umar menjawab, “Allah SWT. Telah mengutus Nabi Muhammad SAW. Kepada kita dan kita tidak mengetahui sesuatu. Maka sesungguhnya kami berbuat sebagaimana kami melihat Rasulullah berbuat. “
4.       Diceritakan dari Sa’id bin Musayab bahwa Usman bin Affan berkata “Saya duduk sebagaimana duduknya Rasulullah SAW. Saya makan sebagaimana Shalatnya Rasulullah SAW.”

Masih banyak lagi contoh-contoh yang menunjukan bahwa apa yang diperintahkan, dilakukan, dan diserukan oleh Rasulullah SAW. Selalu diikuti oleh Umatnya dan apa yang dilarang selalu ditinggalkan oleh mereka.

d.      Sesuai Dengan Petunjuk Akal (Ijtihad)
Kerasulan Nabi Muhammad SAW telah diakui dan dibenarkan oleh umat Islam. Didalam mengemban misinya itu kadangkala beliau menyampaikan apa yang diterimanya dari Allah SWT, baik isi maupun formulasinya dan kadangkala atas inisiatif sendiri dengan bimbingan wahyu dari Tuhan. Namun juga, tidak jarang beliau menawarkan hasil Ijtihad semata-mata mengenai suatu masalah yang tidak dibimbing oleh wahyu. Hasil ijtihad beliau ini tetap berlaku sampai ada nash yang menaskahkan. [1]
Bila Kerasulan Muhammad telah diakui dan dibenarkan, maka sudah selayaknya apabila segala peraturan dan perundang-undangan serta inisiatif beliau, baik yang beliau ciptakan atas bimbingan pedoman hidup. Disamping itu, secara logika kepercayaan kepada Muhammad SAW sebagai Rasul mengharuskan umatnya menaati dan mengamalkan segala ketentuan yang beliau sampaikan.
Dari uraian diatas, dapat diketahui bahwa hadist merupakan salah satu sumber hukum dan sumber ajaran Islam yang menduduki urutan kedua setelah Al-qur’an. Sedangkan bila dilihat dari segi kehujjahan hadist melahirkan hukum Zhann, kecuali hadist yang mutawatir.
Alasan lain mengapa umat Islam berpegang pada hadits karena selain memang di perintahkan oleh Al-Qur’an, juga untuk memudahkan dalam menentukan (menghukumi) suatu perkara yang tidak dibicarakan secara rinci atau sama sekali tidak dibicarakan di dalam Al Qur’an sebagai sumber hukum utama. Apabila Sunnah tidak berfungsi sebagai sumber hukum, maka kaum Muslimin akan mendapatkan kesulitan-kesulitan dalam berbagai hal, seperti tata cara shalat, kadar dan ketentuan zakat, cara haji dan lain sebagainya. Sebab ayat-ayat Al-Qur’an dalam hal ini tersebut hanya berbicara secara global dan umum, dan yang menjelaskan secara terperinci justru Sunnah Rasulullah. Selain itu juga akan mendapatkan kesukaran-kesukaran dalam hal menafsirkan ayat-ayat yang musytarak (multi makna), muhtamal (mengandung makna alternatif) dan sebagainya yang mau tidak mau memerlukan Sunnah untuk menjelaskannya. Dan apabila penafsiran-penafsiran tersebut hanya didasarkan kepada pertimbangan rasio (logika) sudah barang tentu akan melahirkan tafsiran-tafsiran yang sangat subyektif dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.

2.      HUBUNGAN AL-HADITS DENGAN AL-QUR’AN

Dalam hubungan dengan Al-Qur’an, maka As-Sunnah berfungsi sebagai penafsir, pensyarah, dan penjelas daripada ayat-ayat tertentu. Apabila disimpulkan tentang fungsi As-Sunnah dalam hubungan dengan Al-Qur’an itu adalah sebagai berikut :

1.      Bayan Tafsir,
Yaitu menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak. Seperti hadits : “Shallu kamaa ro-aitumuni ushalli” (Shalatlah kamu sebagaimana kamu melihatku shalat) adalah merupakan tafsiran daripada ayat Al-Qur’an yang umum, yaitu : “Aqimush-shalah” (Kerjakan shalat). Demikian pula hadits: “Khudzu ‘anni manasikakum” (Ambillah dariku perbuatan hajiku) adalah tafsir dari ayat Al-Qur’an “Waatimmulhajja” ( Dan sempurnakanlah hajimu ).

2.      Bayan Taqrir,
Yaitu As-Sunnah berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an. Seperti hadits yang berbunyi: “Shoumu liru’yatihiwafthiru liru’yatihi” (Berpuasalah karena melihat bulan dan berbukalah karena melihatnya) adalah memperkokoh ayat Al-Qur’an dalam surat Al-Baqarah : 185.

3.      Bayan Taudhih,
Yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an, seperti pernyataan Nabi : “Allah tidak mewajibkan zakat melainkan supaya menjadi baik harta-hartamu yang sudah dizakati”, adalah taudhih (penjelasan) terhadap ayat Al-Qur’an dalam surat at-Taubah: 34, yang artinya sebagai berikut : “Dan orang-orang yang menyimpan mas dan perak kemudian tidak membelanjakannya dijalan Allah maka gembirakanlah mereka dengan azab yang pedih”. Pada waktu ayat ini turun banyak para sahabat yang merasa berat untuk melaksanakan perintah ini, maka mereka bertanya kepada Nabi yang kemudian dijawab dengan hadits tersebut.

3.      HADIST DALAM MENENTUKAN HUKUM
Dalam pembicaraan hubungan As-Sunnah dengan Al-Qur’an telah disinggung tentang bayan tasyri’, yaitu hadits adakalanya menentukan suatu peraturan/hukum atas suatu persoalan yang tidak disinggung sama sekali oleh Al-Qur’an. Walaupun demikian para Ulama telah berselisih paham terhadap hal ini. Kelompok yang menyetujui mendasarkan pendapatnya pada ‘ishmah (keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat) apalagi sekian banyak ayat yang menunjukkan adanya wewenang kemandirian Nabi saw. untuk ditaati. Kelompok yang menolaknya berpendapat bahwa sumber hukum hanya Allah, Inn al-hukm illa lillah, sehingga Rasul pun harus merujuk kepada Allah SWT (dalam hal ini Al-Quran), ketika hendak menetapkan hukum.
Kalau persoalannya hanya terbatas seperti apa yang dikemukakan di atas, maka jalan keluarnya mungkin tidak terlalu sulit, apabila fungsi Al-Sunnah terhadap Al-Quran didefinisikan sebagai bayan murad Allah (penjelasan tentang maksud Allah) sehingga apakah ia merupakan penjelasan penguat, atau rinci, pembatas dan bahkan maupun tambahan, kesemuanya bersumber dari Allah SWT.
Sebenarnya dengan kedudukan Nabi sebagai Rasul pun sudah cukup menjadi jaminan (sesuai dengan fungsinya sebagai tasyri’) adalah harus menjadi pedoman bagi umatnya, dan seterusnya. Tetapi mereka yang keberatan, beralasan antara lain: Bahwa fungsi Sunnah itu tidak lepas dari tabyin atas apa yang dinyatakan Al-Qur’an sebagaimana penegasan Allah:
“keterangan-keterangan (mukjizat) dan kitab-kitab. dan Kami turunkan kepadamu Al Quran, agar kamu menerangkan pada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (An-Nahl: 44)
Maka apa saja yang diungkap Sunnah sudah ada penjelasannya dalam Al-Qur’an meski secara umum sekalipun. Sebab Al-Qur’an sendiri menegaskan
“Tiadalah Kami alpakan sesuatupun dalam Al-Kitab ini” (Al-An’am : 38)
Sebenarnya kedua pendapat itu tidak mempunyai perbedaan yang pokok. Walaupun titik tolak berpikirnya berbeda, tetapi kesimpulannya adalah sama. Yang diperdebatkan keduanya adalah soal adanya hadits yang berdiri sendiri. Apakah betul-betul ada atau hanya karena menganggap Al-Qur’an tidak membahasnya, padahal sebenarnya membahas.
Seperti dalam soal haramnya kawin karena sesusuan, menurut pihak pertama adalah karena ditetapkan oleh Sunnah yang berdiri sendiri, tetapi ketetapan itu adalah sebagai tabyin/tafsir daripada ayat Al-Qur’an yang membahasnya secara umum dan tidak jelas. Mereka sama-sama mengakui tentang adanya sesuatu tersebut tetapi mereka berbeda pendapat tentang apakah Al-Qur’an pernah menyinggungnya atau tidak (hanya ditetapkan oleh Sunnah saja)
Dalam kasus-kasus persoalan lain sebenarnya masih banyak hal-hal yang ditetapkan oleh Sunnah saja, yang barangkali sangat sulit untuk kita cari ayat Al-Qur’an yang membahasnya, walaupun secara umum dan global. Oleh karena itulah kita cenderung untuk berpendapat sama dengan pihak yang pertama.

4.       NABI MUHAMMAD SEBAGAI SANDARAN HADIST
Pada dasarnya seorang Nabi punya peran sebagai panutan bagi umatnya. Sehingga umatnya wajib menjadikan diri seorang Nabi sebagai suri tauladan dalam hidupnya. [2]
Namun perlu juga diketahui bahwa tidak semua perbuatan Nabi menjadi ajaran yang wajib untuk diikuti. Memang betul bahwa para prinsipnya perbuatan Nabi itu harus dijadikan tuntunan dan panutan dalam kehidupan. Akan tetapi kalau kita sudah sampai detail masalah, ternyata tetap ada yang menjadi wilayah khushushiyah beliau. Ada beberapa amal yang boleh dikerjakan oleh Nabi tetapi haram bagi umatnya. Di sisi lain ada amal yang wajib bagi Nabi tapi bagi umatnya hanya menjadi Sunnah. Lalu ada juga yang haram dikerjakan oleh Nabi tetapi justru boleh bagi umatnya. Hal ini bisa kita telaah lebih lanjut dalam beberapa uraian berikut ini:

1.      Boleh bagi Nabi, haram bagi umatnya
Ada beberapa perbuatan hanya boleh dikerjakan oleh Rasulullah SAW, sebagai sebuah pengecualian. Namun bagi kita sebagai umatnya justru haram hukumnya bila dikerjakan. Contohnya antara lain:

Berpuasa Wishal ®
Puasa wishal adalah puasa yang tidak berbuka saat Maghrib, hingga puasa itu bersambung terus sampai esok harinya. Nabi Muhammad SAW berpuasa wishal dan hukumnya boleh bagi beliau, sementara umatnya justru haram bila melakukannya.

Boleh beristri lebih dari empat wanita ®
Contoh lainnya adalah masalah kebolehan poligami lebih dari 4 isteri dalam waktu yang bersamaan. Kebolehan ini hanya berlaku bagi Rasulullah SAW seorang, sedangkan umatnya justru diharamkan bila melakukannya.

2.      Yang wajib bagi Nabi, Sunnah bagi ummatnya

Sedangkan dari sisi kewajiban, ada beberapa amal yang hukumnya wajib dikerjakan oleh Rasulullah SAW, namun hukumnya hanya Sunnah bagi umatnya.

Shalat Dhuha’ ®
Shalat dhuha’ yang hukumnya Sunnah bagi kita, namun bagi Nabi hukumnya wajib.

Qiyamullail ®
Demikian juga dengan shalat malam (qiyamullaih) dan dua rakaat fajar. Hukumnya Sunnah bagi kita tapi wajib bagi Rasulullah SAW.

Bersiwak ®
Selain itu juga ada kewajiban bagi beliau untuk bersiwak, padahal bagi umatnya hukumnya hanya Sunnah saja.

Bermusyawarah ®
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya

Menyembelih kurban (udhhiyah) ®
Hukumnya wajib bagi Nabi SAW namun Sunnah bagi umatnya.

3.      Yang haram bagi Nabi tapi boleh bagi ummatnya

Menerima harta zakat ®
Semiskin apapun seorang Nabi, namun beliau diharamkan menerima harta zakat. Demikian juga hal yang sama berlaku bagi keluarga beliau (ahlul bait).

Makan makanan yang berbau ®
Segala jenis makanan yang berbau kurang sedang hukumnya haram bagi beliau, seperti bawang dan sejenisnya. Hal itu karena menyebabkan tidak mau datangnya malakat kepadanya untuk membawa wahyu.
Sedangkan bagi umatnya, hukumnya halal, setidaknya hukumnya makruh. Maka jengkol, petai dan makanan sejenisnya, masih halal dan tidak berdosa bila dimakan oleh umat Muhammad SAW.

Haram menikahi wanita ahlulkitab ®

Karena isteri Nabi berarti umahat muslim, ibunda orang-orang muslim. Kalau isteri Nabi beragam nasrani atau yahudi, maka bagaimana mungkin bisa terjadi. [3]
Sedangkan bagi umatnya dihalalkan menikahi wanita ahli kitab, sebagaimana telah dihalalkan oleh Allah SWT di dalam Al-Quran surat Al-Maidah ayat 3.
Selain hal-hal yang diuraikan di atas, perbuatan-perbuatan Nabi Muhammad sebelum kerasulan bukan merupakan sumber hukum dan tidak wajib diikuti. Walaupun oleh sejarah dicatat bahwa perbuatan dan perkataan Nabi selalu terpuji dan benar, sehingga beliau mendapatkan gelar Al-Amin. Akan tetapi kehiupannya waktu itu bisa dijadikan sebagai suatu contoh yang sangat baik bagi kehidupan setiap setiap muslim. Sebagaimana bolehnya kita mengambil contoh atas perbuatan-perbuatan yang baik walaupun dari orang luar Islam sekalipun.
Semua contoh di atas merupakan hasil istimbath hukum para ulama dengan cara memeriksa semua dalil baik yang ada di dalam Al-Quran maupun yang ada di dalam Sunnah Nabi SAW. [4]
















BAB III
PENUTUP


1.       KESIMPULAN

1.      Secara bahasa, hadits dapat berarti baru, dekat dan khabar (cerita). Sedangkan menurut istilah, hadits berarti segala perkataan, perbuatan dan taqrir atau persetujuan yang disandarkan pada Nabi Muhammad SAW (aqwal, af’al wa taqrir).
2.      Peran dan kedudukan Hadits adalah sebagai tabyin atau penjelas dari Al-Qur’an dan juga menjadi sumber hukum sekunder/kedua_setelah Al-Qur’an.
3.      Dalam hubungannya dengan Al-Qur’an, As-Sunnah memiliki beberapa fungsi seperti; bayan tafsir yang menerangkan ayat-ayat yang sangat umum, mujmal dan musytarak; Bayan Taqrir, berfungsi untuk memperkokoh dan memperkuat pernyataan Al-Qur’an, dan; Bayan Taudhih, yaitu menerangkan maksud dan tujuan sesuatu ayat Al-Qur’an.
4.      Dalam beberapa kasus, As-Sunnah dapat saja berdiri sendiri dalam menentukan hukum, hal ini didasarkan pada keterpeliharaan Nabi dari dosa dan kesalahan, khususnya dalam bidang syariat. Dan hal ini terbatas pada suatu perkara yang Al-Qur’an tidak menyinggungnya sama sekali, atau sulit ditemui dalil-dalilnya dalam Al-Qur’an.
5.      Tidak semua perbuatan Nabi Muhammad merupakan sumber hukum yang harus diikuti oleh umatnya, seperti perbuatan dan perkataannya pada masa sebelum kerasulannya.

2.      SARAN

Diharapkan kepada para pembaca agar secara benar-benar dapat mengetahui kedudukan hadist sebagai salah satu sumber hukum Islam.



DAFTAR PUSTAKA


Al-Qur’an
Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua, Bandung: Pustaka
Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits, Jakarta: Bulan Bintang
Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an, Bandung: Mizan





[1][1][1] Faridl, Miftah, (2001), As-Sunnah Sumber Hukum Islam Yang Kedua Hal 84
[2] Hasbi Ash-Shiddieqy, Prof. T.M., (1965), Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadits Hal 132
[3] Quraish, M. Syihab, (1996), Membumikan Al-Qur’an Hal 62
4 Ibid Hal 67